Senin, 04 Juli 2011

SUDAN

Sudan merupakan salah satu negara di Afrika yang kaya akan sumber daya alam yang merdeka dari jajahan negara Inggris sejak tanggal 1 januari 1956 dengan Perdana Menteri pertamanya Ismail Azhari. Dari sejak berdirinya negara ini, terjadi banyak  konflik internal yang mempengaruhi kestabilan politik di Suda khususnya dan kawasan Afrika secara umum. Sebenarnya konflik yang terjadi di Sudan merupakan konflik yang diakibatkan oleh pembagian wilayah yang dilakukan pihak kolonial Inggris. Warga Sudan bagian selatan dilarang melintas dan mendiami wilayah sebelah utara garis lintang 8 derajat. Sementara itu, warga Sudan bagian utara juga tidak diperbolehkan melakukan hal serupa.
Aturan pelarangan ini sebenarnya dibuat oleh Inggris untuk menyebarnya penyakit malaria dari daerah selatan. Penyebaran tersebut terkait dengan usaha penghentian pengaruh Islam dari utara sehingga penyebaran agama Kristen menjadi lebih lancar. Bentuk isolasi ini kemudian menumbuhkan benih konflik warga utara-selatan.  Selain itu, Inggris juga  membangun kesadaran identitas warga Sudan wilayah selatan, bahwa mereka merupakan penduduk asli Afrika, bukan wara wilayah selatan dan dilain pihak, Inggris membangun pola pemerintahan tradisional di bawah pimpinan syaikh di Utara dan pemimpin suku di Selatan yang memberikan andil terhadap lemahnya sistem pemerintahan Sudan dikemudian hari.
Menurut beberapa literature yang saya baca, terdapat dua akar konflik utama yang melanda Sudan, yakni: Pertama, wilayah Selatan Sudan yang mayoritas beragama Kristen mengancam akan memerdekakan diri karena rezim Nimeiri menerapkan syariat Islam pada bulan september 1983. Terlebih lagi sebelumnya di bulan juni, Nimeiri secara unilateral membagi wilayah selatan menjadi tiga provinsi tanpa melibatkan warga di wilayah tersebut. Kedua, ketidakseriusan pusat (Khourtum) dalam mensejahterakan warga Darfur memicu terjadinya konflik di provinsi tersebut. Konflik kedua ini berbeda dengan konflik antara kelompok Islam di Utara dan minoritas Kristen di Selatan, dalam konflik di Darfur semuanya adalah Muslim berkulit hitam.
Penyebab utama dari konflik ini adalah karena murni akibat kemiskinan yang dialami oleh warga Darfur, padahal Darfur merupakan wilayah yang sangat subur untuk tanah pertanian dan kaya minyak. Menghadapi pemberontakan ini, pemerintahan Khartoum merespon dengan membentuk kekuatan militer di Darfur untuk menyerang kelompok di daerah tersebut. Dalam kurun waktu beberapa tahun, menurut PBB lebih dari 30.000 orang telah tewas, lebih dari satu juta orang mengungsi ke perbatasan Sudan-Chad. Konflik di Darfur ini menurut PBB dikategorikan sebagai genocide atau ethnic cleansing, yaitu pembunuhan besar-besaran etnis suatu bangsa secara sengaja oleh pihak tertentu.
Berlangsungnya konflik Darfur yang telah lama berlangsung dan belum menemukan penyelesaian telah berimbas pada kestabilan regional Afrika, utamanya negara-negara di sekitar Sudan, seperti Chad, Kenya, Ethiopia, Uganda dan Eritrea.  Dampak yang tidak terhindarkan dari kasus Darfur bagi kelima negara tersebut adalah masalah pengungsian massal kedalam wilayah negara-negara tersebut yang mengakibatkan munculnya kasus baru, seperti kelaparan dan kriminalitas. Mengingat bahwa adanya kemungkinan terjadinya dampak yang lebih serius dari kasus Darfur, maka dunia internasional kemudian memberikan perhatian khusus kepada Sudan.
Perhatian tersebut tercermin dari pembentukan regionalisme yang bertujuan untuk penyelesaian konflik etnis di kawasan Afrika. Kerjasama kemudian dilakukan dengan negara Eritrea, Ethiopia, Chad dan Sudan untuk mengatasi konflik ini. Sementara itu, upaya domestik yang dilakukan oleh pemerintahan Sudan adalah dengan mengadakan perundingan dengan para pemberontak, tetapi seringkai perundingan tersebut berakhir nihil. Salah satu perundingan yang berhasil dijalankan adalah perjanjian perdamaian antara pemerintah dan kelompok pemberontak selatan di tahun 2005 dalam Nairobi Comprehensive Peace Agreement. Menurut kesepakatan ini, hal – hal yang ditekankan adalah mengenai otonomi daerah selatan dan penunjukan John Garang, pemimpin SPLA, sebagai co-vice president di Sudan sekaligus sebagai presiden daerah otonomi khusus Sudan Selatan dibawah pemerintah pusat Khartoum.
Selain itu, bantuan penyelesaian konflik Darfur juga datang dari organisasi regional Uni Afrika. Uni Afrika meskipun dianggap merupakan bentuk regionalisme yang kurang berpengaruh terhadap dinamika yang terjadi di Afrika ternyata memiliki peranan yang cukup signifikan dalam penyelesaian konflik Darfur seperti upaya perundingan untuk gencatan senjata, pengiriman tentara dan polisi Uni Afrika untuk stabilitas dan mengatur masalah kependudukan di wilayah konflik.
Tanggapan kasus konflik Darfur juga datang dari pihak luar regional Afrika, seperti yang dilakukan oleh pihak DK PBB dengan mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1706 tahun 2006. Dalam resolusi tersebut dinyatakan bahwa PBB akan mengirimkan sekitar 26.000 tentara penjaga perdamaian PBB di Darfur atau UNAMID (United Nations African Union Mission in Darfur). Pihak lain yang ikut terlibat adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa. Khususnya Amerika Serikat, peranannya terlihat dalam mediasi-mediasi dan perundingan-perundingan yang diselenggarakan oleh kedua belah pihak. Seperti dalam kebijakan WOT (War On Terrorism) yang menyatakan bahwa gerakan separatis Sudan merupakan salah satu bentuk jaringan terorisme yang sama dengan pelaku peristiwa 9/11. Melalui kebijakan tersebut, Amerika Serikat juga ingin menegakkan HAM dan demokratisasi pemerintahan Sudan.
Perkembangan yang paling ekstrim dari upaya perdamaian di Sudan ini adalah adanya rencana penangkapan dan penyeretan Presiden Sudan, Umar Al-Basyhir ke pengadilan internasional oleh International Criminal Court (ICC) dengan tuduhan pelanggaran HAM dan genocide di Darfur pada 4 Maret 2009. Hal ini menurut saya malah akan semakin menjauhkan kondisi Sudan dari suksesi perdamaian. Intensi pihak luar yang terlihat secara jelas dalam rencana penangkapan ini akan memunculkan sejumlah polemik, baik bagi internal Sudan maupun regional Afrika. Situasi internal Sudan akan semakin bergejolak atas rencana ICC tersebut. Sedangkan bagi kawasan sendiri, masalah Sudan merupakan isu yang sangat fundamental ditengah upaya regionalisme progresif di Afrika. Otoritas Uni Afrika, dibawah Moamer Khadafi menolak secara tegas menolak rencana penyeretan Al-Basyir, sebagai bentuk keberpihakan dan konsolidasi regional dalam kawasan Afrika sendiri.
Konflik yang terjadi di Sudan merupakan pembuktian bahwa kestabilan dan keamanan regional Afrika masih terganggu dan hal ini berdampak pada terhambatnya proses kerjasama Uni Afrika. Sementara itu, keterlibatan pihak luar menurut saya telah jauh ikut campur dalam kasus internal Sudan. Seharusnya keterlibatan pihak luar hanya sampai pada tahap membantu penyelesaian konflik seperti mediasi dan bantuan-bantuan lainnya. Apabila keterlibatan tersebut semakin masuk menginternalisasi, ditakutkan akan terjadi peralihan kekuasaan kepada pihak asing, dalam hal ini Amerika Serikat dan aktor-aktor lainnya. Sementara itu, upaya ditingkat regional oleh Uni Afrika akan menjadi hal yang tidak terlalu signifikan. Hal ini dikarenakan adanya aturan non-intervention policy bagi negara-negara didalamnya. Menurut saya upaya paling efektif adalah melalui rekonsiliasi pihak grass-root sebagai pelaku utama konflik di Sudan ini.
Daftar pustaka :
      Dr. J. Stephen Morrison, American's Sudan Policy: A New Direction?, Center for Strategic and International Studies, Washington D.C, 2001
      Dr. J. Stephen Morrison, Implementing U.S Policy in Sudan, Center for Strategic and International Studies, Washington D.C, 2002
      Dagne,Ted.2005.Sudan: Humanitarian Crisis, Peace Talks,Terrorism, and U.S. Policy.Congress-ional Research Service
      Deng,Francis M.  dan J. Stephen Morrison.2001.Report of the CSIS Task Force on U.S.-Sudan Policy.CSIS:Washington DC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar