Dalam melakukan sebuah riset, seseorang harus lebih dulu memiliki pemahaman mengenai metodologi yang meliputi teori-teori dan metode-metode riset. Namun pemahaman tentang metodologi seseorang seringkali ditentukan oleh pandangan filosofis dibalik riset tersebut. Dasar filosofis dalam riset dapat juga disebut sebagai paradigma riset. Secara sederhana, paradigma bisa diartikan sebagai aliran pemikiran yang memiliki asumsi dasar tentang suatu bidang studi, termasuk kerangka konseptual, petunjuk metodologis dan teknik analisis. Paradigma berfungsi menuntun peneliti untuk menentukan masalah-masalah mana yang penting untuk diteliti, bagaimana mengkonseptualisasikan dan metode apa yang cocok untuk menelitinya[1].
Terdapat tiga paradigma yang berkembang dalam tradisi sosiologi, yaitu positivis, relativis dan rekonsiliasionis. Paradigma positivis dan relativis merupakan aliran paradigma yang saling bertolak belakang, sedangkan paradigma rekonsiliasionis muncul sebagai jembatan penghubung bagi keduanya. Paradigma positivis sering disebut sebagai paradigma tradisional, eksperimental atau empirisistis[2]. Paradigma ini dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi seperti Comte, Durkheim dan Mill. Dalam pola pikir peneliti penganut paradigma ini, dikenal adanya logika positivisme yang berakar dari presisi kuantitatif ilmu alam, khususnya matematika, fisika dan biologi. Sebuah ciri yang paling penting dalam logika positivisme adalah keyakinan bahwa fenomena sosial memiliki pola dan tunduk pada hukum yang deterministik layaknya hukum yang mengatur ilmu-ilmu alam. Hanya faktor-faktor yang dapat diobservasi secara langsung dan dapat diukur secara objektif yang merupakan data yang diterima. Maka dari itu, peneliti positivis lebih sering menggunakan logika deduktif dengan presisi data kuantitatif hasil observasi empiris dan menggunakan metode eksperimen, survei dan statistik.
Paradigma kedua adalah relativisme. Paradigma ini sangat berbeda dengan paradigma positivis yang bebas nilai. Pemikiran dasar bahwa di dunia ini tidak ada hal yang disebut sebagai kebenaran universal sebenarnya telah ada sejak abad 5 Sebelum Masehi. Relativisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Yunani,yakni Protagoras. Menurut relativisme, tiap-tiap realitas atau fakta sosial dapat diintepretasikan secara berbeda bergantung pada sudut pandang dan pengalaman peneliti[3]. Disini, setiap aspek kehidupan memiliki tingkat kebenaran yang relatif sesuai dengan cara penafsiran fakta sosial tersebut. Berangkat dari kebenaran relative tersebut, maka dalam paradigma relativisme tidak dikenal adanya “free value” tetapi terdapat “value bonds” yang berarti bahwa setiap aspek dalam riset pasti berhubungan dengan nilai. Maka dari itu, pemaknaan suatu realita menjadi bersifat individual. Paradigma relativisme memiliki lima asumsi dasar, yakni : (1) fakta selalu bersifat majemuk dan kompleks sehingga harus diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (2) terdapat hubungan inkuiri yang saling berhubungan antara peneliti dengan subjeknya; (3) tidak bertujuan untuk menggeneralisasi hasil temuan riset namun lebih pada penelitian kasus per kasus; (4) tidak ada bebas nilai, yang ada hanyalah sesuatu yang terikat nilai; (5) karena situasi berlangsung secara stimulant, maka sulit untuk membedakan sebab dan akibat.
Yang terakhir adalah paradigma “jalan tengah” yang menjembatani paradigma positivis dan relatifism, yaitu paradigma rekonsiliasionis. Bagi penganut paradigma ini, kebenaran dengan derajat tertentu dapat diraih dan oleh karena itu, dimungkinkan bagi peneliti untuk membuat prediksi berdasarkan pengetahuan yang didapat. Tetapi dalam proses prediksi tersebut, peneliti tidak boleh meniadakan “kekurangan” manusia.
Ketiga paradigma tersebut, masing-masing tentunya memiliki kelebihan dan sekaligus kekurangan. Paradigma positivis yang tidak hirau akan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, kemungkinan besar hasil risetnya hanya berhasil mengupas sisi-sisi terluar dari suatu fakta social. Selain itu, keadaan bebas nilai sebagai jargon dari paradigma ini seringkali patut dipertanyakan karena kecenderungan peneliti untuk bersikap relative. Kekurangan inilah yang menjadi kritik utama paradigma relativisme terhadap positivis. Namun yang perlu ditekankan dari paradigma positivis ini terletak pada perhatian yang penuh terhadap ketepatan dalam membentuk sebuah teori. Sementara itu, subjektivitas yang melekat erat pada paradigma relativisme membuat hasil riset yang didapatkan tidak dapat digunakan sebagai bahan rujukan atau sebagai sebuah grand theory. Kebenaran dari riset hanya berlaku dan menjadi shahih dalam kondisi-kondisi spesifik saja. Kelebihan dan kekurangan inilah yang dijadikan bahan baku untuk mengembangkan paradigma jalan tengah rekonsiliasionis. Menurut paradigma jalan tengah, realitas sosial terbagi menjadi hal-hal yang bisa dikuantifikasi dan tidak/kurang bisa dikuantifikasi. Tergantung kondisi dan situasi pada saat riset dilakukan.
Seorang peneliti harus memiliki pandangan yang cukup luas mengenai ketiga paradigma tersebut dan memilih paradigma yang sesuai dengan riset yang akan dilakukan. Hal ini penting mengingat paradigma sangat menentukan hasil akhir riset tersebut. Kemudian, untuk menunjang paradigma yang dipakai, maka diperlukan adanya suatu metode penalaran yang disebut deduktif dan induktif. Keduanya memiliki karakteristik yang bertolak belakang sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh peneliti. Apabila peneliti tersebut menginginkan sebuah gambaran teori baru atau bahkan ingin membangun teori baru, maka penalaran yang digunakan adalah penalaran induktif. Namun, apabila yang diinginkan oleh peneliti adalah menguji teori atau hipotesis, maka yang lebih tepat digunakan adalah penalaran deduktif. Dalam penalaran induktif, peneliti menelaah kasus-kasus tunggal secara seksama sampai ia menemukan suatu pola dalam banyak kasus-kasus tunggal tersebut dan kemudian mengembangkan suatu prinsip hubungan kausal[4]. Dengan menggabungkan prinsip yang ditemukan dengan prinsip lain yang serupa, para peneliti dapat membangun sebuah teori yang bisa menjelaskan fenomena yang ditelitinya. Sebaliknya, peneliti dapat menggunakan penalaran deduktif dengan cara menarik deduksi dari prinsip umum dan menghasilkan prinsip-prinsip yang lebih rendah[5]. Setelah itu, peneliti bisa menguji masing-masing preposisi tersebut dengan menelaah peristiwa-peristiwa khusus untuk melihat apakah kasus-kasus itu bisa dijelaskan atau bahkan diramalkan oleh teori peneliti itu. Deduktif memungkinkan seoarang peneliti menyatukan dan menguji teori atau preposisi-preposisi khususnya.
Daftar pustaka :
Endraswara, Suwardi. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Puataka Widyatama
Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional : disiplin dan metodologi. Jakarta : LP3ES
Mulyana, Deddy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma baru. Bandung: Rosda
Moleong, Lexy. 2001. Metodologi Penelitian Kalitatif. Yogyakarta: Rake Sarasian
Neuman, Lawrence, W. Sosial Research Method: Qualitative and QuantitativeApproach, 4th ed. Boston: Allyn and bacon
Sentosa, Edy. The Philosophy of Research. dalam http://theglobalgenerations.blogspot.com/ akses tanggal 13 September 2009
Silalahi, Ulber. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press
[1] Mohtar mas’oed, 1990. Ilmu Hubungan Internasional : disiplin dan metodologi. Jakarta : LP3ES. p8
[2] Ulber silalahi. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung: UnparPress. p. 61
[3] ibid. p.62
[4] David Edward, International Political Analysis dalam mohtar mas’oed 1990. Ilmu Hubungan Internasional : disiplin dan metodologi. Jakarta : LP3ES. p79
[5] Suwardi Endraswara. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Puataka Widyatama, p-66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar