Dalam beberapa tahun belakangan ini, permasalahan junta militer di Myanmar telah menarik perhatian dunia terutama sejak demonstrasi besar-besaran oleh para biksu pada tahun 2007 dan isu yang terakhir mengenai ditahannya pemimpin demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi oleh pemerintahan junta. Hal ini tentunya juga menjadi catatan khusus bagi organisasi regional ASEAN untuk ikut serta dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Tetapi, salah satu prinsip dalam ASEAN, yaitu prinsip untuk tidak mencampuri urusan internal negara lain yang dikenal dengan prinsip non-interferens menjadi satu batu hambatan bagi berhasilnya upaya penyelesaian masalah ini dan mungkin malah menimbulkan masalah baru dalam tubuh ASEAN sendiri. Di satu sisi, ASEAN sebagai organisasi yang menaungi negara-negara di Asia Tenggara berkepentingan untuk memelihara kestabilan dan perdamaian kawasan demi berhasilnya proyek ASEAN Community, namun di sisi lain, apabila salah satu negara, dalam hal ini Myanmar ternyata masih menganut pemerintahan junta militer yang dianggap menyengsarakan rakyatnya, ASEAN tidak dapat terlibat secara jauh guna menyelamatkan rakyat Myanmar dari kekerasan pemerintahan junta karena masalah ini masih dianggap masalah internal negara Myanmar. Hal inilah yang kemudian melahirkan pemikiran penulis untuk mengetahui lebih jauh mengenai eksistensi prinsip-non interfensi ASEAN dalam menghadapi kasus Myanmar. Apakah prinsip tersebut masih dipertahankan, disesuaikan atau bahkan digantikan dengan prinsip baru?. Sebuah hal yang kompleks dan dilematis, mengingat untuk memperlancar dan mensukseskan program Asean Community 2010, dibutuhkan upaya kerjasama dari seluruh negara yang tergabung dalam ASEAN, namun hal tersebut ternyata tidak dapat berjalan lancar karena negara Myanmar masih melakukan praktek-praktek ketertutupan junta militer. Dikhawatirkan proyek Asean Community tidak berjalan sesuai agenda akibat masih bertahannya pemerintahan yang jauh dari demokratis dalam tubuh ASEAN sendiri, dimana salah satu gagasan dalam kesepakatan ASEAN Community adalah untuk membentuk kawasan yang integral dan demokratis.
Sejarah Singkat Junta Militer Myanmar
Burma mendapatkan kemerdekaannya dari kolonialisme Inggris Raya pada tanggal 4 Januari 1948 melalui sebuah kesepakatan damai dengan kaum nasionalis Burma yang dipimpin oleh Thaksin Nu[1]. Sebelumnya, gerakan pembebasan Burma dipimpin oleh Jendral Aung San (ayah Aung San Su Kyi), namun Aung San dibunuh oleh lawan politiknya karena dituduh berkhianat dengan melakukan kesepakatan dengan pemerintahan kolonialisme Inggris Raya dalam proses kemerdekaan Burma. Negara baru yang terbentuk berdiri dengan nama Republic Union of Burma atau Republik Persatuan Burma (kemudian berganti nama Myanmar) dengan system pemerintahan berbentuk federasi berbasis etnis yang terdiri dari Pemerintahan (etnis) Shan, Kachin, Karenni dan Pemerintahan Pusat[2]. Pemerintahan seperti ini membuat perbedaan etnis dan nasionalisme kesukuan di Myanmar semakin kental. Hal ini menyebabkan pembangunan persatuan di Myanmar menjadi terhalang. Myanmar tumbuh menjadi negara yang sarat akan konflik etnis[i]. Hal ini diperparah dengan adanya keterlibatan para militer dalam resolusi konflik tersebut.
Melihat permasalahan yang terus saja berlangsung, Jenderal Ne Win memanfaatkannya dengan mengambil alih kekuasaan pada tahun 1958 dan berhasil menduduki tampuk pemerintahan pada tahun 1962 melalui serangkaian kudeta. Setelah itu, Ne Win menerapkan praktek pemerintahan diktaktor militer yang tertutup dari dunia luar. Ne Win beranggapan bahwa keterlibatan pihak asing hanya akan menganggu proses pembangunan sosialisme Myanmar. Sejak saat itu, perlawanan terhadap pemerntahan menjadi semakin sering terjadi. Puncaknya, pada tahun 1988, terjadi demonstrasi besar-besaran yang menjatuhkan korban sebanyak lebih dari 3000 orang. Merespon hal tersebut, akhirnya Ne Win mengundurkan diri dan digantikan oleh pemerintahan bersama beberapa perwira angkatan yang menyebut diri mereka sebagai State Law & Order Restoration Council (SLORC)[3].
Dibawah pemerintahan SLORC, Myanmar semakin dekat dengan praktek-praktek junta militer. Pasukan militer ditambah berlipat-lipat dan dimodernisasi. Bahkan Myanmar disebut-sebut memiliki kekuatan militer kedua setelah Vietnam di Asia Tenggara. Berangkat dari kekuatan yang dimilikinya, SLORC menjadi semakin kuat melakukan represi melawan pihak yang beroposisi. Upaya modernisasi militer tersebut juga dibarengi oleh upaya membuka diri terhadap dunia luar. Hal ini terlihat dari adanya program Visit Myanmar Year tahun 1996[4]. Pada tanggal 27 Mei 1990, SLORC melaksanakan pemilu untuk pertama kalinya dan dimenangkan oleh National League for Democracy (NLD), partai yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. NLD memperoleh 59,9 persen popular vote dan 392 dari 485 kursi yang diperebutkan. Semetara itu, partai milik pemerintah, National Unity Party (NUP) hanya mendapatkan 21,2 persen popular vote dan 10 kursi[5]. Namun secara sepihak, militer membekukan parlemen bentukan pemilu dan Suu Kyi pun ditangkap dan ditahan. Pemerintahan lalu dijalankan kembali oleh pemerintahan SLORC tanpa mempedulikan hasil pemilu yang telah dilakukan. Era pasca pemilu ditandai dengan berbagai upaya represi yang semakin intens terhadap oposisi[6].
Pada tahun 1997, pemerintah SLORC berubah nama menjadi State Peace and Development Council (SPDC). Dan di bulan Juli pada tahun yang sama, Myanmar ikut bergabung dalam organisasi regional Asia Tenggara, ASEAN. Menurut beberapa pengamat, keikutsertaan Myanmar dalam ASEAN adalah sebagai bentuk usaha pencarian legitimasi regional yang didukung oleh Perdana Menteri Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad[7]. Mengingat sebenarnya pada tahun 1967 Myanmar pernah diundang dalam pertemuan perencanaan ASEAN yang pertama, namun Myanmar menolaknya dengan berdasarkan anggapan bahwa ASEAN merupakan sebuah praktek organisasi imperialis[8].
Dalam perkembangannya, tidak ada perubahan sama sekali dalam konteks demokratisasi dan hak asasi manusia di Myanmar setelah bergabung dalam ASEAN. Menurut PBB, kekerasan yang dilakukan pemerintahan junta militer Myanmar bahkan telah menyebar menjadi isu transnasional. Hal ini terkait dengan arus pengungsian yang besar dan kontinyu masyarakat sipil Myanmar menuju negara-negara tetangga, seperti Thailand, Bangladesh dan India. Data statistik PBB menunjukkan sedikitnya sebanyak 688.500 orang terlibat dalam pengungsian masal tersebut[9]. Selain itu, kekerasan juga ditunjukkan dengan adanya praktek memenjarakan tahanan politik yang diduga terlibat perlawanan dengan pemerintah tanpa ada proses pengadilan. Selain itu, junta tercatat juga melakukan perdagangan narkotika illegal dan perdagangan manusia yang berdampak buruk terhadap keamanan dan stabilitas kawasan.
Dari segi perekonomianpun, di tahun awal keikutsertaan dalam ASEAN, Myanmar sedikit sekali mendapatkan manfaat dari ASEAN, selain karena krisis yang sedang dilanda oleh mayoritas negara Asia Tenggara, juga karena adanya sanksi ekonomi dari Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sanksi ekonomi tersebut terutama dimaksudkan agar Myanmar segera mengubah bentuk pemerintahan junta militer menjadi lebih demokratis. Prospek ekonomi Myanmar kemudian berlanjut dalam kemiskinan seiring dengan tingkat inflasi yang fluktuatif dan sepinya bantuan pendanaan dari IMF dan Bank Dunia. Namun begitu, Myanmar tidak serta merta kehilangan aliansinya. Rusia sebagai negara yang dekat dengan Myanmar pada tahun 2002 menawarkan bantuan semilai 150 juta dollar Amerika. Selain itu, mitra dagang utama Myanmar seperti India dan China masih setia kepada negara ini. Ditambah lagi, selama dua decade awal pembentukannya, ASEAN sedikit sekali mengadakan agenda pertemuan karena masing-masing negara sibuk dengan urusan internal negaranya. ASEAN. Setidaknya hanya tiga pertemuan yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN dan ketiganya menyangkut permasalahan Sabah. Kondisi ini menyebabkan Myanmar menjadi lebih leluasa menerapkan praktek isolasionisnya.[10]
Signifikansi ASEAN dalam kasus Myanmar
Merespon kekejaman junta militer di Myanmar, ASEAN tidak hanya diam. Beberapa kali ASEAN mengadakan pertemuan guna membahas kasus kekerasan yang dialami oleh rakyat Mnyanmar. Permasalahan ini secara tidak langsung ikut menjadi salah satu penyebab adanya ketidaknyamanan dalam relasi kesepuluh negara ASEAN. The Financial Times mengatakan bahwa kasus Myanmar ini merupakan krisis politik terbesar yang dihadapi selama 40 tahun dan menjadi sebuah hal yang sensitif dibicarakan ketika dikaitkan dengan upaya integrasi ASEAN dalam Asean Community[11]. Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN berkumpul dalam pertemuan PBB di New York membicarakan kemungkinan pemberian sanksi yang lebih tegas dan menghukum kepada Myanmar. Bahkan Mentrei Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda menyatakan bahwa ASEAN kemungkinan akan mempertimbangkan kembali keanggotaan Myanmar jika negara tersebut tidak memenuhi janjinya menjalankan demokratisasi sesuai yang diamanatkan Piagam ASEAN yang telah diratifikasi oleh negara tersebut[12]. Tetapi, para pengamat sangsi terhadap keputusan yang akan diambil oleh ASEAN. Sanksi tegas dan menghukum seperti sanksi ekonomi, militer maupun pencabutan keanggotaan tampaknya kemungkinan kecil akan diambil oleh ASEAN. Mengingat Thailand bergantung kepada Myanmar atas suplai 20 persen gas nasionalnya. Sedangkan Singapura dan Malaysia masing-masing bersaing untuk mendapatkan mineral dan kayu-kayu dari Myanmar. Melihat kenyataan tersebut, harian Jakarta Post menyebut respon pemimpin ASEAN terhadap Myanmar adalah “shamefully weak”[13].
Dalam Asean Charter artikel pertama point keempat, disebutkan bahwa tujuan ASEAN adalah to ensure that the peoples and member states of ASEAN live in peace with the world at large in a just, democratic and harmonious environment. Kemudian point ke tujuh menyebutkan tujuan lainnya adalah to strengthen democracy, enchange good governance and the rule of law, and to promote and protect human rights and fundamental freedoms, with due regard to the rights and responsibilities of the member state of ASEAN[14].
Dengan kondisi Myanmar yang dinilai jauh dari demokrasi dan melihat penderitaan rakyatnya, maka anggota ASEAN memiliki kewajiban moral yang harus dilakukan untuk menegakkan perdamaian bagi rakyat Myanmar. Namun, permasalahannya adalah, di dalam tubuh ASEAN, terdapat prinsip non-interference dimana masing-masing pihak dilarang ikut campur dalam urusan internal negara anggota lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menghargai kedaulatan negara tersebut. Selain itu, salah satu alasan mengapa ASEAN memakai prinsip ini adalah karena tujuan awal berdirinya organisasi ini ialah nation building, dimana pasca kemerdekaan setelah kolonialisasi, akan sulit bagi negara-negara baru tersebut melakukan proses pembangunannya ketika ada intervensi dari negara lain. Komitmen ASEAN untuk menggunakan prinsip ini juga didasarkan kepada Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia pada tahun 1976, yaitu prinsip fundamental "the right of every State to lead its national existence free from external interference, subversion or coercion" and "[n]on-interference in the internal affairs of one another"[15]. Tetapi apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan interference? Apakah memberikan opini terhadap suatu isu merupakan sebuah interference?. Apakah mendorong negara tetangga untuk lebih memperhatikan isu lingkungan hidup adalah sebuah interference?
Beberapa pemimpin ASEAN berpendapat prinsip non-interference merupakan prinsip yang membingungkan. Di satu sisi, untuk menciptakan kawasan yang damai dan stabil, maka masing-masing negara harus melakukan kerjasama. Namun disisi lain, Negara-negara tersebut dihadapkan pada prinsip untuk tidak ikut campur dengan urusan internal negara lain. Disini, pembagian antara urusan internal dengan eksternal tidak terlalu jelas. Apalagi dihadapkan dalam era globalisasi sekarang ini. Kebijakan internal suatu negara misalnya dalam aspek ekonomi akan dengan mudah mempengaruhi negara lain, yang berarti kebijakan ini berubah menjadi urusan eksternal. Maka demikian, terdapat dua pengecualian khusus tindakan interference yang diperbolehkan dalam merespon suatu isu. Pertama adalah ketika suatu negara tidak dapat melindungi warga negaranya dari ancaman yang membahayakan nyawa. Kedua adalah saat suatu negara ASEAN mengancam negara anggota lainnya[16]. Menghadapi permasalahan pertama, negara-negara ASEAN lainnya dapat melakukan Humanitarian Intervention yang dilandasi oleh alasan kemanusiaan. Salah satu contoh dari Humanitarian Intervention yang pernah dilakukan oleh ASEAN adalah ketika menghadapi Krisis Filipina 1986. Sedangkan pada permasalahan kedua, negara yang merasa terancam oleh tindakan negara lain, maka negara tersebut dapat melakukan upaya pertahanan diri. Dalam kasus ini, hal umum yang sering dilakukan adalah dengan berdiplomasi dalam forum-forum internal, seperti tindakan Malaysia dalam merespon kasus kebakaran hutan di Kalimantan yang menimbulkan ancaman bagi Malaysia dalam bentuk asap[17].
Dalam kasus Myanmar, terutama dalam kasus penahanan dan proses pengadilan Aung San Suu Kyi, pihak Myanmar dengan tegas menganggap bahwa negara-negara ASEAN telah melanggar prinsip non-interference dengan mencampuri urusan internal Myanmar. Selain itu, pihak ASEAN dianggap tidak berkomitmen terhadap prosedur ASEAN utnuk meminta terlebih dahulu persetujuan umum dari menteri-menteri luar negeri sebelum mengeluarkan pernyataan mengecam junta militer. Tindakan tersebut dari kacamata Myanmar dapat dimengerti sebagai usaha pertahanan diri dalam menghadapi gugatan dari negara lain, sedangkan bagi ASEAN, Myanmar telah dianggap melanggar HAM dan melakukan tindakan kekerasan kepada rakyatnya.
Selama ini, untuk mendekati junta militer Myanmar, ASEAN menggunakan pelibatan konstruktif. Prinsip pelibatan konstruktif ASEAN adalah menyelesaikan masalah Myanmar tanpa memusuhi Pemerintah Myanmar. ASEAN bahkan tetap melibatkan Myanmar dalam berbagai kesempatan[18]. Hasil dari pelibatan ini adalah pada akhir tahun 2003, Myanmar menyatakan akan memulai "peta jalan menuju demokrasi" pada tahun 2004 dengan mengadakan konvensi konstitusional yang mengikutsertakan wakil-wakil dari delapan kelompok, termasuk partai-partai politik, kelompok-kelompok minoritas dan NLD[19]. Dalam peta jalan tersebut, Myanmar sepakat untuk melaksanakan pemilu pada tahun 2010 mendatang. Disini, para pemimpin ASEAN berusaha sebaik mungkin untuk mencermati perkembangan – perkembangan yang terjadi menyangkut rencana pemilu tersebut. Namun sayangnya, kemajuan dalam demokratisasi di Myanmar hanya ditunjukkan dengan rencana pemilu ini, sedangkan praktek-praktek kekerasan masih terjadi secara luas di dalam internal negara ini. Disini, kembali lagi, ASEAN tidak dapat ikut campur lebih jauh karena terikat pada prinsip non interference yang dibuatnya sendiri. Upaya yang dilakukan kemudian hanya sebatas pembahasan kasus dalam pertemuan pemimpin ASEAN.
Kesimpulan dan Analisa
Sepeti yang dikatakan oleh Andrew Hurrell mengenai pembagian notion of regionalism, menurut saya ASEAN sebagai sebuah bentuk organisasi kerjasama kawasan berawal dari adanya regional awareness and identity dan regional interstate cooperation. Proses pembentukan ASEAN dalam kaitannya dengan Regional awareness and identity berarti bahwa masing-masing negara dalam kawasan Asia Tenggara telah memiliki kesadaran akan pentingnya membentuk suatu kawasan/region atas dasar kesamaan kepentingan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti security threat, external cultural challenge, serta kesadaran dalam membentuk suatu kawasan untuk mengantisipasi kontradiksi dengan kawasan lainnya. Sedangkan regional interstate co-operation berarti bahwa aktivitas kerjasama antar negara-negara tersebut telah sampai pada tahaapan membentuk institusi untuk memayunginya setidaknya dengan struktur yang sederhana. Regional interstate dimaksudkan untuk menciptakan kesejahteraan, membantu penyelesaian masalah, maupun promote common value[20]. Disini, Myanmar merupakan satu-satunya negara yang hingga saat ini memiliki ideologi junta militer diantara negara-negara demokratis di Asia Tenggara dalam perjalannya memberikan dinamika tersdiri bagi kawasan ini. Common interest untuk membentuk Asean Community dapat dikatakan hanya akan menjadi suatu hal yang utopis apabila Myanmar masih belum meninggalkan sistem pemerintahan junta militer yang sarat akan pelanggaran HAM tersebut. Tampaknya Regional awareness and identity belum sepenuhnya dimiliki oleh masing-masing negara, khususnya Myanmar. Padahal negara tersebut telah meratifikasi ASEAN Charter yang mensyaratkan sistem pemerintahan yang demokratis. Maka, untuk mengatasi hal tersebut, selayaknya prinsip non-intreference dirumuskan ulang pengertiannya agar masing-masing negara tidak tumpang tindih dalam merespon suatu isu. Prinsip non-interference terbukti sangat dilematis dihadapkan pada isu-isu internal yang menjadi perhatian dunia luar. Terlihat bahwa prinsip terebut tidak signifikan berperan dalam perkembangan di kawasan ASEAN sendiri, bahkan pada prakteknya, prinsip ini sering dilanggar dan digantikan oleh prinsip lain yang disepakati secara konsesus seperti prinsip pelibatan konstruktif dan Humanitarian Intervention.
Menurut saya, melihat dari kacamata historis negara-negara yang terbebas dari system pemerintahan berbasis militer, tidak pernah ada yang dicapai dengan melakukan komunikasi yang konstruktif namun kesemuanya melalui tindakan yang konfrontatif, seperti gerakan mahasiswa di Indonesia pada tahun 1997. Rezim otoriter tidak akan pernah mencair oleh dialog. Apabila ASEAN tetap pada jalur non-interference atau pelibatan konstruktif, maka sebaiknya ASEAN tidak banyak berharap akan perubahan politik di negara Myanmar. ASEAN setidaknya perlu berkaca ulang pada penolakan hasil pemilu yang memenangkan Aung San Suu Kyi pada tahun 1990. Jika hasil pemilu saja sangat mudah diabaikan, mengapa ASEAN masih saja memberikan kepercayaan kepada Myanmar melalui usaha diplomatis selama ini?. Menurut saya, prinsip non-interference hanya akan memperlemah pengaruh ASEAN dalam kawasan Asia Tenggara sendiri. Pembentukan Asean Community perlu lebih mendapatkan perhatian serius dan permasalahan Myanmar sebaiknya direspon dengan melibatkan kawasan dan institusi lain, seperti penjatuhan veto DK PBB dan pertegasan
Membekukan keanggotaan Myanmar dari ASEAN adalah langkah terbaik. ASEAN harus menunjukkan sikap tidak dapat menerima nilai dan aksi antidemokrasi dan HAM. Sikap keras terhadap Myanmar juga untuk menunjukkan kepada China bahwa ASEAN tidak perlu takut mengambil sikap berseberangan dengan kebijakan luar negeri China.
Jika ASEAN solid, tidak satu pun kekuatan eksternal yang berani mengambil risiko mengorbankan hubungan dengan ASEAN. Oleh karena itu, pembentukan komunitas ASEAN harus menjadi prioritas untuk menjadikan ASEAN mempunyai kekuatan tawar yang kuat, termasuk dalam mengambil langkah keras dalam masalah Myanmar.
Membekukan keanggotaan Myanmar dari ASEAN adalah langkah terbaik. ASEAN harus menunjukkan sikap tidak dapat menerima nilai dan aksi antidemokrasi dan HAM. Sikap keras terhadap Myanmar juga untuk menunjukkan kepada China bahwa ASEAN tidak perlu takut mengambil sikap berseberangan dengan kebijakan luar negeri China.
Jika ASEAN solid, tidak satu pun kekuatan eksternal yang berani mengambil risiko mengorbankan hubungan dengan ASEAN. Oleh karena itu, pembentukan komunitas ASEAN harus menjadi prioritas untuk menjadikan ASEAN mempunyai kekuatan tawar yang kuat, termasuk dalam mengambil langkah keras dalam masalah Myanmar.
Sumber :
Stephen McCarthy.2005.” The Political Theory of Tyranny in Singapore and Burma” Aristotle and the rhetoric of benevolent despotism.Routledge : New York. P. Routledge
[1] Sekelumit Dibalik Kegagalan Gerakan Demokrasi Myanmar http://www.berpolitik.com/viewposting.pl?newsid=249¶m=wNTFXXn6IpckI57BJGwi. Diakses pada tanggal 25 juni 2009 pukul 18.30 WIB
[2] ibid
[3] ibid
[4] Mikael Gravers. 1999.”NATIONALISM AS POLITICAL PARANOIA IN BURMA” An Essay on the Historical Practice of Power .Nordic Institute of Asian Studies. P.139
270 Madison Avenue, New York
[5] http://international.okezone.com/read/2009/05/26/18/223042/18. diakses pada tanggal 26 juni 2009 pukul 15.00 WIB
[6] Sekelumit Dibalik Kegagalan Gerakan Demokrasi Myanmar http://www.berpolitik.com/viewposting.pl?newsid=249¶m=wNTFXXn6IpckI57BJGwi. Diakses pada tanggal 25 juni 2009 pukul 18.30 WIB
[7] 91. Teori politik tirani
[9] ibid.
Washington: Brookings Institute Press, 1998, p. 71
[11] Lee Hudson Teslik.2007. The ASEAN Bloc’s Myanmar Dilemma. http://www.cfr.org/publication/by_type/daily_analysis.html. diakses pada tanggal 26 juni 2009 pukul 15.00 WIB
[12]http://www.antaranews.com/mancanegara/asiapasifik/ ASEAN Pertimbangkan Kembali Keanggotaan Myanmar. Diakses pada tanggal 26 juni 2009 pukul 15.00WIB
[13] Lee Hudson Teslik.2007. The ASEAN Bloc’s Myanmar Dilemma. http://www.cfr.org/publication/by_type/daily_analysis.html. diakses pada tanggal 26 juni 2009 pukul 15.00 WIB
[14] The ASEAN Charter. Jakarta : ASEAN Secretariat, January 2008
[16] ibid
[18] http://www.csis.or.id/events_list.asp?mode=past&tab=1
[19] http://trisyardiyanti.wordpress.com/2008/04/12/internal-conflict-of-myanmar-become-security-dilemma/
[20] Fawcett, Louise, and Andrew Hurrel.2002.Regionalism in world politic.Oxford University press.pp7-36
[i] Etnis mayoritas, yakni Burma mencapai sekitar 68% dari total jumlah penduduk , merupakan etnis dominan yang memegang tampuk pemerintahan. Sementara itu, etnis minoritas seperti etnis Mons, Karen, Karenni, Arakan, Naga, Shan, Kachin, Pyu tersebar di sepanjang perbatasan Myanmar –Thailand, Cina, Laos, Bangladesh dan India. Masing-masing etnis tersebut saling berkonflik satu sama lain untuk memperebutkan pengaruh.( http://www.berpolitik.com/viewnewspost.pl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar