Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu bentuk regionalisme yang paling sempurna dalam system internasional saat ini, Uni eropa dituntut untuk lebih dapat menyeragamkan kebijakan-kebijakan satu sama lain. Saat ini, pemerintahan Uni Eropa tidak hanya sanggup menyatukan perbedaan-perbedaan antar negara-negara Eropa, tapi juga telah semakin memperkecil batas-batas antar anggotanya. Batas-batas antar negara Uni Eropa semakin diperkecil sejak dikeluarkannya Treaty of Rome pada tahun 1957. Pengecilan batas-batas Negara mulai diatur secara bertahap dimulai dengan adanya pembebasan dari empat aspek yakni adanya kebebasan pergerakan modal, barang, jasa, dan manusia (free movement of capital, goods, services, and people)[1].
Ternyata dalam implementasinya, kebebasan yang coba dibentuk oleh pemerintahan eropa saat itu ternyata berdampak buruk terutama terkait dengan kebebasan pergerakan manusia. Tujuan awal pembebasan pergerakan manusia yang pada awalnya dimaksudkan agar penciptaan pasar bersama dalam custom union berjaan secara lebih lancar ternyata banyak dimanfaatkan oleh pekerja-pekerja dari luar uni eropa seperti Afrika, Asia dan Eropa Timur. Penyalahgunaan tersebut terutama terjadi setelah ditandatanganinya perjanjian Schengen pada tanggal 14 Juni 1985 oleh Belanda, Belgia, Jerman, Luksemburg dan Perancis[2]. Kelima Negara tersebut sepakat untuk secara bertahap menghapuskan pemeriksaan di perbatasan mereka dan menjamin pergerakan bebas manusia, baik warga mereka maupun warga negara lain.
Sayangnya kemudahan pergerakan manusia dari luar kawasan eropa tersebut tidak dibarengi dengan pembentukan peraturan-peraturan tambahan sehingga arus imigran menjadi tidak terkontrol[3]. Permasalahan ini kemudian melahirkan urgensi di kalangan negara-negara Uni Eropa akan adanya sebuah undang-undang yang jelas untuk mengatur permasalahan imigrasi, yang kemudian terwujud melalui pembentukan European Immigration Pact (EIP) pada Oktober 2008[4]. Perjanjian imigrasi Uni Eropa ini dipandang telah menjadi satu keharusan yang mendesak mengingat dalam beberapa tahun belakangan telah terjadi arus imigran gelap yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Ada beberapa poin yang menjadi penekanan utama dalam perjanjian ini, yakni adanya tekanan yang besar di kawasan Mediterania. Spanyol, Italia dan Yunani yang berjuang untuk mengatur arus besar imigran ilegal dari negara-negara berkembang, yang beberapa di antaranya memiliki hak mengklaim suaka. Sementara itu bagi Negara-negara uni eropa bagian utara seperti Perancis dan Inggris, kebijakan ini menjadi sangat mendesak akibat banyaknya imigran ilegal yang mencari pekerjaan di Negara-negara tersebut. Saat ini setidaknya ada sekitar delapan juta imigran gelap di Uni Eropa, dimana setengah dari mereka datang secara sah namun overstay.
Tahun ini, kapal patroli Uni Eropa telah memberhentikan lebih dari 20.000 orang yang mencoba menyeberangi Laut Tengah dari Afrika[5]. Jumlah tersebut merupakan jumlah terbesar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bidang lain yang menjadi perhatian adalah Uni Eropa timur yang berbatasan dengan Negara-negara bekas Uni Soviet. Meskipun keamanan telah ditingkatkan, namun orang-orang trafficker secara teratur menyelundupkan migran dari bekas Uni Soviet dan negara-negara Asia, dimana sebagian besar dari mereka bermaksud untuk melarikan diri dari kemiskinan, tetapi beberapa juga melarikan diri dari konflik dan penganiayaan.
Selain itu, permasalahan juga telah mendesak Swedia untuk segera mengatur ulang aturan-aturan imigrasi yang lama. Pada tahun 2007 saja, Swedia menerima sekitar 18.000 pencari suaka asal Irak- jumlah tersebut lebih dari setengah total yang memasuki Uni Eropa tahun lalu[6]. Memang Swedia merupakan tempat yang cukup menarik bagi pencari suaka Irak karena jarak yang tidak terlampau jauh dan kondisi perekonomiannya juga telah maju.
Dengan adanya Perjanjian Imigrasi Uni Eropa ini, diharapkan terjadi perubahan-perubahan signifikan sehubungan dengan pergerakan imigran di Eropa. Aturan imigrasi yang tadinya longgar kini menjadi lebih ketat dan restriktif. Pembentukan aturan imigrasi Perjanjian Imigrasi Uni Eropa yang restriktif ini tidak terlepas dari peran negara-negara anggota UE yang menuntut dilahirkannya aturan spesifik yang lebih restriktif dalam mengatur arus imigrasi di Eropa.
Sebagai Ketua Dewan Uni Eropa saat ini, Nicholas Sarkozy merupakan sosok yang ikut berperan atas pembentukan kebijakan imigrasi Uni Eropa yang lebih restriktif. Pengetatan yang menjadi sangat restriktif dilihat sebagai nosi yang tidak aneh lagi mengingat aspek ideosinkretik Sarkozy sebagai sosok yang keras dan konservatif serta oleh kondisi domestik Perancis yang sedang mengalami peningkatan arus imigrasi. Makalah ini kemudian akan membahas mengenai pengaruh Nicholas Sarkozy terhadap pembentukan kebijakan imigrasi Uni Eropa yang restriktif.
Rumusan Masalah :
Penelitian ini akan mencoba menjawab pertanyaan: Bagaimana peran Nicholas Sarkozy terhadap pembentukan kebijakan imigrasi Uni Eropa yang restriktif?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan pengaruh-pengaruh Nicholas Sarkozy sebagai Ketua Dewan Uni Eropa terhadap pembentukan kebijakan imigrasi Uni Eropa dalam menghadapi arus imigran ilegal yang membanjiri Uni Eropa saat ini.
Kerangka Pemikiran
Peringkat Analisis
Untuk menjelaskan permasalahan yang telah digambarkan diatas maka diperlukan sasaran yang tepat melalui pemilihan level analisis. Dalam proses memilih level analisis, perlu ditetapkan terlebih dahulu unit analisis, yaitu unit yang perilakunya hendak dideskripsikan, dijelaskan, dan diramalkan (disebut juga sebagai variabel dependen); dan unit eksplanasi, yaitu yang dampaknya terhadap unit analisis hendak diamati (atau disebut variabel independen).[7]
Dalam memahami perilaku aktor hubungan internasional, Patrick Morgan menyatakan terdapat lima tingkat analisis.[8] Pertama, tingkat analisis individu, dimana fenomena hubungan internasional dilihat sebagai kumpulan interaksi perilaku individu-individu. Berdasarkan tingkat analisis ini, seorang peneliti diharuskan untuk mengkaji sikap dan perilaku tokoh-tokoh utama pembuat keputusan seperti kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, dan sebagainya.
Kedua, tingkat analisis kelompok individu, yang berasumsi bahwa individu umumnya melakukan tindakan internasional dalam kelompok. Peristiwa internasional sebenarnya ditentukan oleh sekelompok individu yang tergabung dalam birokrasi, departemen, badan pemerintahan, organisasi, atau kelompok kepentingan. Untuk memahami fenomena internasional, seorang peneliti harus mempelajari perilaku kelompok yang terlibat dalam hubungan internasional.
Ketiga, tingkat analisis negara-bangsa, yang menekankan perilaku negara-bangsa sebagai faktor penentu dinamika hubungan internasional. Analisis para ilmuwan seharusnya ditekankan pada perilaku unit negara-bangsa, karena hubungan internasional pada dasarnya didominasi oleh perilaku negara-bangsa. Seorang peneliti harus mempelajari proses pembuatan keputusan hubungan internasional, yaitu kebijakan luar negeri, oleh suatu negara-bangsa sebagai unit yang utuh.
Keempat, tingkat analisis kelompok negara-bangsa, yang beranggapan bahwa hubungan internasional merupakan pola interaksi yang dibentuk oleh kelompok negara-bangsa. Seringkali negara-bangsa tidak bertindak sendiri, tetapi sebagai suatu kelompok. Karena itu, unit analisis yang harus dikaji adalah pengelompokan negara seperti aliansi, persekutuan dagang, blok ideologi, dan sebagainya.
Kelima, tingkat analisis sistem internasional, yang memandang sistem internasional sebagai penyebab terpenting terjadinya perilaku dan interaksi aktor-aktor internasional. Negara-negara di dunia dan interaksi di antara mereka dilihat sebagai suatu unit sistem. Pengetahuan tentang dinamika sistem internasional dapat dipakai untuk menjelaskan perilaku aktor-aktor hubungan internasional yang terlibat di dalamnya. Dalam menganalisa permasalahan ini penulis lebih berfokus pada individu, dimana unit analisis yang digunakan adalah Nicolas Sarkozy. Sedangkan unit eksplanasi yang digunakan adalah Kebijakan imigrasi Uni Eropa.
TEORI DAN KONSEP
Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, abstrak definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.[9] Teori yang peneliti gunakan untuk menganalisis kasus ini adalah pembentukan kebijakan luar negeri dan konsep yang peneliti pakai adalah imigrasi.
Teori Pengambilan Keputusan Kebijakan
Kebijakan memiliki tiga konsep untuk menjelaskan hubungan suatu negara dengan kejadian dan situasi yang mungkin dapat mempengaruhi keadaan dalam negerinya, yaitu :
1. kebijakan sebagai sekumpulan orientasi. Kebijakan pemerintah dilihat sebagai kumpulan orientasi yang dijadikan pedoman bagi para pembuat keputusan untuk menghadapi kondisi-kondisi yang menuntut dikeluarkannya kebijakan tersebut.
2. kebijakan sebagai seperangkat komitmen dan rencana untuk bertindak. Rencana tindakan ini termasuk tujuan yang spesifik dan cara untuk mencapainya yang dianggap cukup memadai untuk menjawab tantangan.
3. Kebijakan sebagai bentuk perilaku atau aksi. Disini, kebijakan berupa langkah-langkah nyata yang diambil oleh pembuat keputusan berdasarkan komitmen dan sasaran yang spesifik.[10]
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Plano dan Olton bahwa “kebijakan luar negeri adalah suatu strategi atau sekumpulan tindakan yang direncanakan, yang dikembangkan oleh pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau entitas internasional yang ditujukan pada pencapaian tujuan tertentu berdasarkan kepentingan nasional yang telah ditentukan”.[11] Politik luar negeri merupakan serangkaian proses pembuatan kebijakan untuk menanggapi situasi internasional. Jadi kebijakan luar negeri dapat berarti sebagai kepanjangan tangan dari kebijakan domestik pula.
Didalamnya, keputusan pengambilan kebijakan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang berasal dari dalam maupun laur negeri. Howard Lentner mengkategorisasikannya kedalam dua klompok, yakni determinan luar negeri dan determinan domestik. Determinan luar negeri mengacu pada keadaan sistem internasional dan situasi pada suatu waktu tertentu[12]. Sedangkan determinan domestik menunjuk pada keadaan dalam negeri yang terdiri dari highly stable determinant (luas geografi, lokasi, dsb), moderate stable determinant (budaya politik, kepemimpinan dan proses politik), dan unstable determinan (persepsi jangka panjang dan faktor ketidaksengajaan). Semenatara itu, Rosenau membagi sumber-sumber utama yang menjadi input dalam perumusan kebijakan yaitu sumber sistemik (lingkungan eksternal), sumber masyarakat (sumber yang berasal dari lingkungan internal negara seperti kebudayaan, ekonomi, opini publik, dsb), sumber pemerintahan (pemilu, kompetisi partai dan struktur kepemimpinan), dan sumber ideosinkretik (pengalaman, bakat dan persepsi elit pembuat kebijakan).
HIPOTESIS
Dengan memahami latar belakang masalah yang ada dan menggunakan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah Nicholas Sarkozy memainkan peranan besar terutama atas ketegasan dan keketatan dari kebijakan imigrasi uni eropa terlebih lagi mengingat posisi Sarkozy sebagai pemimpin teratas Uni Eropa.
Metodologi Penelitian
Definisi Konseptual dan Operasional
Pengungsi
Menurut Konvensi PBB tentang Kedudukan Pengungsi (1951) definisi umum tentang konsep “pengungsi.”adalah setiap orang yang “sebagai akibat peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951, dan karena adanya ketakutan yang beralasan akan dikejar-kejar atas alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam suatu kelompok sosial atau pandangan politik tertentu, berada di luar negara tempat ia menjadi warganegara, dan tidak mampu, atau tidak mau, karena adanya ketakutan semacam itu, mendapat perlindungan dari negara tersebut; atau siapa saja yang tidak memiliki kewarganegaraan dan sedang berada di luar negara tempat ia sebelumnya bertempat tinggal, ternyata tidak mau kembali ke negara tersebut karena adanya peristiwa-peristiwa semacam itu”. Kemudian dalam Protokol 1967, United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) memperluas penerapan Konvensi dengan menambahkan situasi “pengungsi baru,” yakni orang-orang yang walaupun memenuhi definisi Konvensi mengenai pengungsi, akan tetapi mereka menjadi pengungsi akibat peristiwa yang terjadi setelah 1 Januari 1951. definisi tersebut merupakan dasar bagi Australia dalam menjalankan kebijakan pemberian suaka[13]
Statuta UNHCR menyebutkan, bahwa UNHCR berwenang untuk melindungi dan membantu pengungsi yang merasa terancam kehidupannya karena alasan ras, agama kebangsaan atau pendapat politiknya. Selain itu UNHCR juga membantu pengungsi yang ingin kembali ke negara asalnya, tugas ini berdasarkan pada Konvensi mengenai Status Pengungsi 1951. Prinsip yang paling mendasar dan paling utama dari perlindungan terhadap hak pengungsi adalah prinsip non-refoulement, yang menjamin bahwa tidak seorangpun – pengungsi - dapat ditolak jika dalam pengungsiannya ia sampai di perbatasan suatu negara. Atau jika seorang pengungsi sudah berada di wilayah kekuasaan negara lain ia tidak dapat diusir atau dipaksa kembali ke tanah airnya jika di tanah airnya ia merasa ketakutan, terancam kehidupan, kemerdekaan dan kebebasannya. Prinsip non-refoulement ini kemudian dipertimbangkan sebagai bagian dari hukum internasional.
Konsep Imigasi
Istilah imigrasi berasal dari bahasa latin migratio yang berarti perpidahan orang dari suatu tempat atau negara ke tempat atau engara lain(santoso : 2004). Sedangkan menurut Konvensi imigrasi tauhn 1924 di Rome, imigrasi didefinisikan sebagai ‘man mobility to enter a country with its purpose to make a living or for residence’.
Saat konsep negara dan kedaulatan atas suatu wilayah tertentu muncul, dalam melakukan perlintasan antar negara, diperlukan paspor sebagai alat izin untuk menyeberang. Paspor adalah pas atau izin melewati pelabuhan atau pintu masuk, yang berasal dari kata to pass yaitu melewati, dan port yaitu pelabuhan atau pintu masuk. Paspor ini biasanya memuat identitas kewarganegaraan pemegangnya. Negara yang mengeluarkan berkewajiban memberi perlindungan hukum dimana pun kepada pemegang berada.
Tipe Penelitian
Penelitian bersifat deskriptif sebagai upaya menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi dengan menggambarkan fakta-fakta dan memberikan data yang akurat dan tepat. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan peran yang dimainkan oleh Sarkozy dalam Kebiajakn Imigrasi Uni Eropa
Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dari studi literatur, situs-situs internet, terbitan institusi, jurnal, artikel dari koran dan majalah, working paper, serta pidato dan presentasi. Dalam menganilis,data yang telah terkumpul diolah dengan metode kualitatif tanpa pengukuran secara kuantitatif atau uji statistik. Langka logika yang dapat ditempuh adalah gabungan langkah logika deduktif maupun induktif, yaitu dimulai dari preposisi umum menuju yang khusus, begitu pula sebaliknya.
Sistematika Penulisan
Bab I berisikan tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, peringkat analisis, kerangka pemikiran yang digunakan, hipotesis serta metodologi penelitian.
Bab II berisi pembahasan
BAB II
ISI
Imigrasi sebagai tantangan bersama uni eropa
Sejak tahun 1950, Eropa telah menjadi daerah penerima imigrasi dan saat ini di
Uni Eropa telah melegalkan 11 juta imigran tetap dan beberapa juta lagi yang diperkirakan masih illegal. Persebaran imigran dari luar negeri tersebar berbeda-beda di tiap Negara. Khsuusnya di zona utara (Irlandia, Inggris Raya, Finlandia dan Swedia) gerakan migrasi dianggap cukup dinamis sedangkan zona pusat (Belgia, Denmark, Jerman, Perancis, Luxembourg, Belanda, dan Austria) merupakan titik fokus utama yang menarik bagi para imigran untuk bermigrasi menuju Eropa. Sementara itu, zona Mediterania (Italia, Spanyol, Portugal dan Yunani) lebih cenderung menerima imigran yang dating dari arah utara Afrika. Latar belakang dari kedatangan merekapun berbeda-beda baik sebagai pencari suaka ataupun atas dasar motif ekonomi.
Uni Eropa telah melegalkan 11 juta imigran tetap dan beberapa juta lagi yang diperkirakan masih illegal. Persebaran imigran dari luar negeri tersebar berbeda-beda di tiap Negara. Khsuusnya di zona utara (Irlandia, Inggris Raya, Finlandia dan Swedia) gerakan migrasi dianggap cukup dinamis sedangkan zona pusat (Belgia, Denmark, Jerman, Perancis, Luxembourg, Belanda, dan Austria) merupakan titik fokus utama yang menarik bagi para imigran untuk bermigrasi menuju Eropa. Sementara itu, zona Mediterania (Italia, Spanyol, Portugal dan Yunani) lebih cenderung menerima imigran yang dating dari arah utara Afrika. Latar belakang dari kedatangan merekapun berbeda-beda baik sebagai pencari suaka ataupun atas dasar motif ekonomi.
Imigrasi di Perancis
Di Perancis, definisi hukum pertama dari imigran tercantum dalam Konvensi Roma, pada tahun 1924. sebelumnya, isu ini tidak termasuk dalam isu-isu yang cukup penting dibahas dalam pembentukan kebijakan pemerintah. Saat ini, status imigran dapat diperoleh di Perancis jika seorang individu telah menjalani proses naturalisasi, perkawinan dan anak. sedangkan orang asing yang lahir di Perancis tidak akan dianggap sebagai imigran.
Pada pertengahan tahun 2004, Perancis mendapatkan sebanyak 4, 9 juta imigran menurut INSEE, yang artinya 760,000 lebih dari pada tahun 1999 dan 8, 1% dari total jumlah penduduk. 40% dari mereka mendapatkan kewarganegaraan dari netralisasi atau perkawinan. Pada tahun 2004, sebuah survey dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong imigran ke Prancis. Hasillnya didominasi oleh family reunification yang disusul oleh alasan untuk mencari pekerjaan. Selama decade terakhir saat ini Perancis mengalami peningkatan jumlah imigran sebanyak 1, 7 juta imigran, (35% dari imigran dan 2, 7% dari total penduduk) yang berasal dari negara Uni Eropa. Imigrasi menuju Perancis terutama berasal dari Afrika dimana hampir dua pertiganya berasal dari Aljazair dan Maroko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar