Senin, 04 Juli 2011

Liberalism and Neo Liberalism

“Liberalism  is a political doctrine that takes the abuse of power, and thus the freedom of the individual, as the central problem of government.”
(Encyclopædia Britannica. Ultimate Reference Suite.  Chicago.)

John Locke (1632-1704), salah satu filsuf liberalis melihat adanya potensi besar dibalik civil society dan perekonomian dunia modern. Dunia modern merupakan proses awal kemajuan menuju kehidupan menjadi lebih baik dengan tingkat kesejahteraan dan kebebasan yang lebih tinggi. Perkembangan selanjutnya, bahwa pemikiran liberalisme ini memiliki pengaruh yang signifikan bagi perkembangan masyarakat industri modern.
Berbeda dengan aliran Realisme yang mengambil pandangan negatif terhadap human nature, liberalisme pada umumnya memiliki pandangan yang lebih positif. Menurut C.B Macpherson, terdapat 2 konsepsi liberalisme tentang human nature, yaitu pandangan pasar (market view) dan pandangan etik (ethical view).  Market view melihat bahwa manusia adalah konsumen yang memaksimalkan utilities-nya. Sementara itu, ethical view melihat bahwa manusia hidup dan berjuang untuk menemukan potensi-potensi mereka.
Lebih jauh lagi, dalam buku ”Pengantar Studi Hubungan Internasional” , Robert Jackson dan Georg Sorensen dijelaskan bahwa human nature memiliki kemampuan rasional yang dapat dipakai menghadapi masalah-masalah internasional. Persaingan dan egoisme masnusia masih dianggap ada oleh kaum liberal sama seperti kaum realis, namun kaum liberal percaya bahwa individu-individu dengan masing-masing kepentingannya dapat berkolaborasi dan bekerjasama secara timbal balik untuk mempermudah pencapaian kepentingan mereka tersebut.
Liberal Kontemporer dimulai pada abad ke-18 dan ke-19. Dalam sistem ini, terdapat syarat untuk mencapai perdamaian dunia yaitu demokrasi, free trade dan keamanan kolektif. Kaum liberal berpendapat bahwa manusia pada dasarnya hidup dalam harmoni. Perang adalah sesuatu yang tidak natural dan tercipta karena pemerintahan yang tidak demokrasi. Perang bisa dihindari dengan demokratisasi dan free trade yang kemudian dapat meleburkan batas antar individu dan menyatukan mereke dalam perdagangan.
Menurut ”The Penguin Dictionary of International Relations”,  ada 4 proposisi yang berlaku dalam teori liberal yang berasal terutama dari analogi hubungan antara individu dengan negara, yaitu :
1.  Peace can best secured through the spread of democratic institutions on world-wide basis.  Sistem internasional yang demokratis mengantarkan kepada situasi damai tanpa konflik dan perang. Kaum liberal melihat negara sebagai entitas konstitusional yang membentuk dan menjalankan aturan hukum yang menghormati hak-hak dan kebebasan rakyatnya untuk hidup.
2.  íf people and states make rational calculation of their interest and act upon them, an ”invisible hand” would ensure that national interest and international interest would be one and the same. Kenyataan ini secara tidak langsung mendorong pada adanya interdependency dan pada akhirnya, war doesn’t pay (Angell, 1910).
3.  if disputes occur, these would be settled by judicial procedures. Liberalisme sangat menjunjung tinggi adanya aturan hukum bersama secara internasional. Disini rezim berguna dalam hal legislature, excecutive dan judiciary dengan tetap mengedepankan kedaulatan negara.
4.  Collective security would replace notion of self-help. Asumsinya adalah ketika ada ancaman agresor, maka tiap-tiap negara akan mengorganisir menjadi kolektif koalisi untuk melawan ancaman tersebut. Keamanan lebih dipandang sebagai tanggung jawab bersama daripada tunggal.

Liberalism post World War II.
Jackson and Sorensen membagi liberalisme menjadi 4 pemikiran utama pada masa setelah Perang  Dunia ke 2.
§  Liberalisme Sosiologis.
                Menurut liberalisme sosiologis, aktor hubungan internasional tidak hanya negara berdaulat. Ada banyak aktor-aktor lain yang berpengaruh terhadap hubungan internasional, yaitu masyarakat, kelompok dan organisasi yang berasal dari negara berbeda (plural).
§  Liberalisme Interdependency. 
                Aliran ini berasumsi bahwa adanya modernisasi akan berimplikasi pada tingkat interdepedensi yang semakin kompleks dan menjadikan aktor-aktor transnasional semakin penting. Faktor interdependency dipandang sebagai bentuk hubungan transnasional yang dapat mewujudkan integrasi politik dan perdamaian. Perkembangan interdependency lalu membuat kekuatan militer sebagai instrumen dalam mengatasi konflik menjadi kurang bermanfaat.
§  Liberalisme Institutional.
                Liberalisme institusional menekankan pada pentingnya institusi internasional dalam membantu memajukan kerjasama antara negara-negara. Dalam menjalankan hubungan internasional yang teratur dan terkendali, maka perlu diadakan organisasi internasional yang berperan sebagai penyedia informasi, dan tempat bernegosiasi sekaligus sebagai arena pemonitoran kekuatan antar negara  dan mengimplementasikan kekuatannya sendiri (berdasarkan pada Keohane).
§  Liberalisme Republican.
Batu pijakan dalam pencapaian perdamaian adalah adanya konsepsi bersama dalam penyelesaian konflik secara damai. Kaum liberal republikan berpendapat bahwa ada ”zona damai” antara negara-negara liberal yang kuat. Negara-negara demokrasi tidak berperang satu sama lain karena budaya demokratisnya dalam menyelesaikan konflik secara damai, nilai-nilai moral, dan hubungan kerjasama.

Pertentangan Neo Liberalisme
          Perdebatan abadi antara kaum liberal dan realis terutama mengenai pola kooperasi dalam sistem internasional yang anarchical menciptakan pembelahan liberalisme menjadi 2, yaitu liberalisme lemah yang condong pada realisme dan liberalisme kuat yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dasar liberal. Kaum liberalis lemah inilah yang menjadi cikal bakal neo liberalisme.
Sifat manusia yang sangat kompleks menurut kaum neo-liberalis tidak lagi relevan dianggap sebagai dasar peletakan asumsi dalam memandang nature sistem internasional. Ada aspek sosial dan politik yang ikut berpengaruh terhadap perilaku manusia itu sendiri yang tidak boleh diabaikan. Dalam memandang interdependency, kaum neo-liberalis memiliki pola pemikiran yang berbeda. Menurut neo-liberalis, interdependency adalah fenomena yang sudah ada sejak dulu dan pada kenyataannya hanya sedikit berpengaruh terhadap perdamaian dengan mengacu pada Perang Dunia II.
Perspektif neo-liberalisme mengacu pada asumsi atas rasionalitas. Negara-negara, selalu akan mengkalkulasikan untung rugi dalam melakukan sebuah act. Institusi internasional pada akhirnya akan menjadi ajang kompetisi antara negara kuat dan lemah dalam mencapai kepentingannya masing-masing. Namun neo-liberalisme masih mengakui adanya transnationalism tetapi dengan mangadopsi beberapa asumsi dari realisme struktural. Bahwa menurut neo-liberalisme, negara merupakan aktor dominan dalam sistem internasional dan keberadaan organisasi internasional meskipun dapat memfasilitasi kerjasama namun masih tetap berpotensi menciptakan perselisihan.
Negara-negara dicirikan sebagai aktor yang selain memiliki sifat baik juga memiliki sifat buruk. Hal ini memberikan alasan kepada masing-masing aktor agar selalu waspada dan curiga terhadap aktor lainnya. Menurut perspektif ini, kondisi anarkis dalam sistem internasional tidak akan pernah hilang.  Dan ketika anarkis itu masih tetap pada tempatnya, maka security dilemma akan tetap menjadi hal yang ”didilemakan”.  Tentu saja, perdamaian yang selalu dicita-citakan lalu akan mengacu kepada konsep perdamaian dan stabilitas dari realisme, yaitu kondisi anarki dan balance of power.

Analisis Pribadi.
            Mencoba membandingkan antara paham liberal dan neo-liberal dari beberapa sumber artikel yang saya dapatkan, bisa ditarik kesimpulan bahwa masing-masing dari paham tersebut hirau akan permasalahan yang sama dengan cara pandang yang berbeda. Liberal dengan nilainya sendiri sedangkan neo-liberal mencoba mengadopsi nilai-nilai realisme struktural yang dianggap sesuai dalam menganalisa permasalahan hubungan internasional. Tetapi apakah perdebatan antara kaum liberal dengan neo-liberal akan berhenti dan menemukan jawabannya?. Menurut saya, sejauh masih ada konflik yang terjadi dalam sistem internasional dan pada akhirnya institusi internasional tidak berhasil menyelesaikan konflik tersebut, maka neo-liberalisme masih akan tetap menjadi paham yang relevan pada tempatnya. Disini liberal sebagai grand theory dari neo-liberalisme akan teruji eksistensi-nya dari sejauh mana liberalisme ini mampu menjawab kritik khususnya dari neo-liberalisme.
Sources :
Burchill, Scott. Theories of International Relation
Sorensen, George, Robert Jackson. Pengantar Hubungan Internsaional, Pustaka Pelajar, Jogjakarta. 2005.
Peters, Michael. Neoliberalism. Encyclopedia of Philosophy of Education. University of Auckland. 1999
Ppt by Lisa Martin,. International Relations Theories: Discipline and Diversity : Ch.5. Neoliberalism. Oxford University Press. 2007.
"liberalism." Encyclopædia Britannica. Ultimate Reference Suite.   Chicago: Encyclopædia Britannica, 2009.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar