Senin, 04 Juli 2011

Analisis Perkembangan Keadilan Sosial dan Multikulturalisme Indonesia di tengah Arus Globalisasi


Abstract :
Studi politik multikulturalisme kontemporer saat ini banyak diramaikan oleh perdebatan antara menguatnya politik identitas dan homogenisasi kultur sebagai pengaruh dari perkembangan globalisasi. Pemikiran Will Kymlicka penulis gunakan dalam menganalisa perkembangan multikulturalisme di Indonesia, antara lain dalam kasus diskriminasi etnis Tionghoa dan kekerasan Ahmadiyah. Terkait dengan pratek diskriminasi tersebut, keadilan sosial di Indonesia menjadi satu esensi pertanyaan besar dimana demokrasi yang telah terbangun selama lebih dari 1 dekade belum sepenuhnya melahirkan keadilan secara merata. Dalam melihat permasalahan keadilan sosial tersebut, penulis menggunakan pendekatan Nancy Frasser, yakni politik pengakuan dan distribusi.

Keywords :
Keadilan sosial, politics of recognition, politik distribusi, multiculturalism, globalisasi

1.                 Keadilan Sosial Sebagai Indikator Suksesnya Perjalanan Demokrasi di Indonesia
1.a Definisi Keadilan dan Konsep Keadilan Sosial ala Nancy Frasser
Secara bertahap, pemahaman masyarakat mengenai konsep keadilan sosial sedikit demi sedikit telah berubah. Dari keadilan sosial yang awalnya didefinisikan hanya dalam aspek distribusi merata barang dan jasa saat ini meluas dalam aspek keadilan sosio-kultur atau persamaan hak atas kebebasan sebagai manusia. Mahbub Ul Haq menyebutkan bahwa keadilan dapat diartikan sebagai keadilan dalam kesempatan, baik kesempatan dalam bidang sosial, politik, budaya maupun ekonomi yang harus didasarkan pada hak asasi manusia (Mahbub Ul Haq, 2005). Dengan kata lain, keadilan harus diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan,tidak hanya dalam aspek persamaan distribusi barang dan jasa namun juga dalam aspek ekonomi, politik, sosial, maupun budaya, tanpa memandang perbedaan ras, suku, agama, laki-laki atau perempuan.
Dalam bidang ekonomi, keadilan berarti bahwa hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati secara merata kepada seluruh masyarakat, bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Sedangkan keadilan sosial diartikan sebagai kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk menganut agama, menikmati pendidikan, mendapatkan pekerjaan dan bebas memilih kehidupan yang layak. Sementara itu, keadilan dibidang politik berarti ada kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya atau aspirasinya tanpa ada tekanan-tekanan tertentu dari orang lain. Yang terakhir, keadilan di bidang budaya berarti ada kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk mengembangkan budayanya dan menjalankan kehidupan budayanya tanpa ada diskriminasi.
Nancy Fraser dalam papernya yang berjudul The Social Justice In The Age of Identity Politic, konsep keadilan sosial dilihat sebagai bagian dari konteks globalisasi. Dalam paper tersebut, Fraser menyebutkan terdapat dua pengkategorisasian tesis keadilan sosial, yakni politik distribusi dan politik recognition atau politik pengakuan. Dalam politik distribusi, persoalan keadilan sosial muncul ketika struktur sosial ekonomi mengalami ketimpangan. Permasalahan ketimpangan inilah yang kemudian memunculkan permasalahan ketidakadilan terutama menyangkut problem pengeksploitasian ekonomi. Sedangkan dalam kategori politik pengakuan, permasalahan keadilan sosial terkait dengan distribusi pengakuan terhadap hak orang lain. Politik pengakuan ini dikaitkan dengan interaksi antar kebudayaan dimana saat ini semakin memperlihatkan karakteristik multikultur. Maka, prinsip kebebasan dalam sistem demokrasi yang semaki berkembang diharapkan mampu memberikann ruang terbuka bagi perkembangan soso-ekonomi maupun sosio-kultur. Frasser juga menyebutkan bahwa politik redistributif dan politik penga­ku­an pada hakekatnya tidaklah terpisahkan, dan bahwa keduanya selalu dapat ditempatkan pada konteks perjuangan untuk menciptakan kesetaraan par­tisipasi sosial bagi setiap orang.

1.b Problems of Recognitions and Justification
Dalam melihat permasalahan keadilan yang cukup kompleks bahwa keadilan pada satu sisi harus mengakui ada­nya perbedaan perlakuan dan kebijakan, maka setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seharusnya hirau akan problem jus­­tifikasi (problem of justification).  Realitas menyatakan bahwa dalam setiap klaim yang dibuat oleh setiap kelompok, tidak semuanya akan mendapatkan pengakuan secara otomatis. Ketidakotomatisan tersebut juga terjadi dalam politik distributif. Kedua hal tersebut terkait dengan prosedur pemerintahan tentang klaim yang memenuhi syarat sehingga setiap klaim yang diakui dapat dipertanggungjawabkan atas nama hukum. Dalam pembentukan  prosedural tesebut, penentuan kriteria dilakukan atas dasar kriteria objektif dalam bentuk kegunaan yang paling maksimal, atau dalam perspektif lain, penggunaan teori diskursus juga dapat dimungkinkan.
Segala bentuk kebijakan yang berkiblat kepada politik pengakuan terhadap perbedaan identitas adalah suatu kebijakan yang sah dan dapat dibenarkan. Bentuk kebijakan yang sebaliknya juga berlaku demikian dalam artian, ketika kebijakan tidak didasarkan pada pengenalan sepenuhnya terhadap perbedaan iden­titas tidak dipandang sebagai kebijakan yang tidak sah sehingga pada akhirnya tidak dapat dibenarkan. Dengan menggunakan argumen tersebut, maka akan menjadi logis jika pembenaran terhadap kebijakan yang dibuat berdasarkan perbedaan ras adalah sah. Keabsahan tersebut akan lebih baik jika memberikan pengakuan yang se­besar-besarnya pada perbedaan identitas berdasarkan rasnya di dalam masyarakat. Akan tetapi kita dapat langsung melihat bahwa ke­bijakan yang mengakui perbedaan identitas sepenuh-penuhnya ini ternyata mu­dah sekali jatuh pada diskriminasi berdasarkan ras.

1.c Solusi Pendekatan Kesetaraan Partisipasi dalam Decision Making Process
Pendekatan atas permasalahan diatas menurut Fraser adalah solusi dengan pendekatan yang menggunakan prinsip kesetaraan partisipasi (participation parity) sebagai kriteria penentuannya. Kesetaraan partisipasi disini juga menampung dimensi keadilan, distribusi, dan pengakuan (recognition). Solusi tersebut tidak hanya bisa digunkan dalam dimensi distributif tetapi juga dalam dimensi pengakuan. Keduanya selalu mengandaikan bahwa se­tiap orang berhak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi di dalam ke­­hidupan sosial secara maksimal. Kebijakan yang didasarkan pada politik distribusi akan menciptakan kondisi-kondisi ob­jek­tif yang memungkinkan setiap orang memiliki kesempatan setara dalam berpartisipasi.sedangkan dalam prinsip politik pengakuan, tatanan sosio-kultural yang terstruktur sehingga semua pihak mendapatkan hak partisipasi sosial yang setara. Maka,  rumusan kebijakan yang tepat bagi masyarakat majemuk harus taat pada prinsip kesetaraan partisipasi sosial (social par­ticipation parity).
Kondisi ketidakadilan bagi Frasser sebenarnya dapat dilihat dari dua alasan berikut : Yang pertama adalah, ketidakadilan dapat terjadi karena individu-in­dividu yang berkompetisi memiliki motivasi dan pilihan hidup yang berbeda. sehingga masing-masing berupaya sekuat mngkin untuk termotivasi untuk berhasil. Keadaan seperti ini membuat sebagian individu akan tertinggal jika motivasi yang dimilikinya lebih rendah dibandingkan dengan motivasi yang lainnya. Yang kedua, ketidakadilan dapat ter­jadi akibat situasi dan kondisi yang tidak dapat ditentukan oleh individu-in­di­vidu terkait atau diluar kekuasaan individu-individu tersebut. Contohnya adalah ketika individu-individu telah memiliki motivasi yang sangat kuat terhadap tujuannya serta memiliki kemampuan yang lebih diantara individu lainnya, tetapi dengan alasan ia berada dalam kelas sosial yang rendah seingga tidak menguntungkan dan tidak dapat membantunya, maka berkurang pulalah kesempatan individu tersebut untuk berpartisipasi secara maksimal di dalam ke­hi­dup­an sosial juga menjadi lemah.
Di era globalisasi saat ini, definisi kedualah yang se­sungguhnya lebih dapat dilihat ssebagai bentuk ketidakadilan sosial. Dalam konteks keadilan sosial di Indonesia, dimana konsolidasi demokrasi telah berjalan lebih dari 1 dekade, realitas keadilan sosial masih berjalan limbung. Terlebih ketika mencermati ulang misi founding father yang termaktub dalam UUD 1945 yakni upaya untuk menghadirkan keadilan sosial sebagai aspek utama yang harus dipejuangkan dalam kehidupan bernegara. Dalam berbagai kasus, keadilan sosial dalam masyarakat masih jauh dari konsep ideal yang dicita-citakan. Hal ini terlihat dari permasalahan ekonomi dalam praktek outsourching.
Dalam bidang ekonomi, praktek outsourcing yang saat ini marak dilakukan oleh perusahaan – perusahaan terkemuka mendapatkan respon yang negatif dari kaum buruh dan mahasiswa. Hal ini terkait dengan ketiadaan jaminan-jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para pekerja daam praktek outsoucing. Dalam UU ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, aspek jaminan sosial dan hak-hak pekerja sama sekali tidak diatur. Maka, pihak pekerja dalam permasalahan ini menjadi dirugikan. Maka, kembali mengacu pada pendekatan yang dibawa oleh Fraser, yang harus diprioritaskan pertama-tama adalah solusi ataupun kebijakan yang mam­­pu menampung kepentingan semua pihak yang memang memiliki pan­dang­an hidup partikular, namun telah hidup bersama dalam suatu masyarakat plu­ral. “Dengan mengacu pada horison yang bersifat substansial dari nilai-nilai yang tidak diakui oleh semua orang yang terkait,” demikian tulis Fraser, “ma­ka kita sudah mengorbankan kesempatan untuk merumuskan klaim penga­ku­an yang bersifat definitif – dalam arti yang mengikat untuk semua.
Terkait dengan perkembangan globalisasi di Indonesia, terdapat permasalahan yang cukup ptensial mengakibatkan konflik dalam kehidupan sosial domestik jika tidak di respon secara tepat. Paradoks yang cukup kuat dibawa oleh globalisasi terkait dengan kebudayaan adalah menguatnya politik identitas yang berakar pada primodialisme. Dalam bahasa Aristoteles, primordialisme dilihat sebagai konsep polity yang berarti “berperang ke luar” dan “konsolidasi ke dalam”. Maka, politik identitas selalu berkutat pada perdebatan baik secara vis-à-vis maupun dialektik mengenai pendefinisian “Diri (Self) sebagai Yang Sama dan Yang Lain atau yang berbeda. Pendefinisian diri sebagai Yang Sama merupakan pengejawantahan dari watak superioritas dan begitu pula sebaliknya, pendefinisian diri sebagai Yang Lain memperlihatkan watak minor. Politik identitas selalu berada di rentang konflik antara superior dan inferior, antara Yang Sama dan Yang Lain, antara mayoritas dan minoritas.
2. Paradoks Globalisasi Dalam Mayarakat Multikultur di Indonesia
2.a       ide Multikulturalisme dalam Literatur Akademik
Penjelasan mengenai keadilan sosio-kultural diatas tidak dapat dilepaskan dari ide-ide multikulturalisme. Seperti yang telah dibahas di awal paper, bahwa keadilan sosial saat ini juga mengacu pada keadilan dalam aspek kebudayaan. Dalam hal ini, pembahasan mengenai politik multikulturalisme menjadi tidak dapat dihindarkan. Ide politik multikulturalisme sendiri sebenarnya telah berkembang sejak tahun 1950an. Namun, multikulturalisme masih dianggap sebagai  wacana yang relatif baru dalam teori sosial dan politik. Jika seseorang merujuk pada karya-karya akademik yang tersedia, istilah ini hanya digunakan sejak 25 tahun terakhir.
Bagi akademisi seperti Radtke, multikulturalisme merupakan sebuah 'konsep menyebar' yang diperkenalkan di Kanada dan menyebar ke Amerika Serikat. Kemudian menyeberangi Samudera Atlantik hingga tiba di Eropa Timur, melintasi Samudera Pasifik khususnya di Australia dan India. Kanada adalah satu-satunya negara konstitusional multikultural di dunia, sementara beberapa negara lain baru-baru ini telah mengintegrasikan multikulturalisme ke dalam kebijakan masing-masing. Di Inggris, konsep multikulturalisme ini telah sering dikampanyekan oleh aktivis-aktivis multikultur kepada pemerintah.
Di Indonesia, multikulturalisme (dan hubungannya dengan isu-isu hak-hak minoritas) belum dieksplorasi secara mendalam. Ide mengenai multikulturalisme masih dipelajari dalam tataran akademisi dan aktivis hak asasi manusia namun hanya sedikit yang diserap dalam pembuatan kebijakan publik di pemerintahan. Terlebih bahwa pembahasan mengenai multikulturalisme ini baru ramai dibahas dalam civitas akademika setelah versi bahasa Indonesia dari buku Will Kymlicka yang berjudul "Multicultural Citizenship" diterbitkan pada tahun 2001.
Menurut Kymlicka, arah politik multikultural ialah pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui. (Will Kymlicka, 2000). Dalam rumusan tersebut, setidaknya terdapat tiga aspek yakni aspek identitas, partisipasi, dan keadilan. Dalam  Identitas terukir dalam menerima keberagaman budaya dan agama. Kekhasan mengafirmasi dalam perbedaan. Dengan menjawab kebutuhan identitas, lahir penghargaan diri sehingga memperkuat  komitmen terhadap kolektivitas. Politik multikultural mau memastikan  jaminan itu terwujud dalam kebijakan publik dan sistem hukum sehingga  cita-cita etika politik terwujud "semakin memperluas lingkup kebebasan  dan membangun institusi- institusi yang adil".
   Sebenarnya, konsep multikulturalisme ini bukan merupakan sebuah wacana yang baru ketika kita melihat realitas bahwa dalam kehidupan bernegara, masyarakat internasional sebenarnya merupakan pengejawantahan dari konsep multikultur sendiri. Menurut data terakhir, dari 184 negara merdeka yang diakui di dunia, terdiri dari 600 kelompok bahasa hidup dan 5000 kelompok etnis. Hanya ditemukan sekelompok kecil negara yang dalam kehidupan domestiknya memiliki budaya dan bahasa yang sama atau dengan kata lain, termasuk dalam kelompok etnonasional yang sama.



2.b Realitas Problem Multikulturalisme ala Indonesia
Indonesia, merupakan salah satu negara dengan jumlah kebudayaan yang beragam. Keragaman di Indonesia sering digambarkan sebagai keragaman yang amat lebar: sekitar 25 rumpun bahasa dan lebih dari 250 rumpun dialek, sekitar 400 kelompok etnis dan suku bangsa, dan lima agama resmi serta berbagai bentuk kepercayaan. Slogan Bhinneka Tunggal Ika jelas memperlihatkan bahwa iidealitas multikultural di Indonesia sudah diakui sejak lama. Bahkan menurut Geertz, sedemikian kompleksnya sehingga rumit untuk menentukan anatominya secara persis. Negeri ini bukan saja multi-etnis (Dayak, Kutai, Banjar, Makassar, Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Aceh, Flores, Bali, dst.), tetapi juga menjadi medan pertarungan berbagai pengaruh multi-mental dan ideologi (India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme, Budhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalisme, Sosialisme, dst.). Kymlicka menyatakan bahwa di era modern saat ini, kebutuhan akan pengakuan terhadap berbagai macam kelompok semakin masif ditemui. Pengakuan tersebut disandingkan dengan tuntutan diterimanya perbedaan kultural masing-masing. Tuntutan-tuntutan tersebut lebih dapat dilihat sebagai tantangan multikulturalisme.
Permasalahan yang dialami oleh negara Indonesia saat ini terkait dengan olitik multikulturalisme dapat dilihat dari aspek-aspek permasalahan berikut :
1.                       Penerimaan (Acceptance)
Permasalahan penting yang tidak dapat dielakkan dari adanya realitas keragaman kultur adalah “politics of recognition”. Pengakuan terhadap setiap entitas kultural yang ada, khususnya yang merupakan entitas minoritas merupakan hal pertama yang perlu ditekankan dalam pencarian solusi dari permasalahan yang terkait oleh keragaman budaya. Lebih jauh, Indonesia yang saat ini masih mengalami kerapuhan hukum dan keterpurukan ekonomi dan politik domestik, politik multikulturalisme sangat mungkin berkembang menjadi politik aliran yang bersifat destruktif dan radikal. Pengakuan terhadap setiap entitas kemudian dilanjutkan dengan upaya penerimaan dari berbagai pihak. Penerimaan merupakan langkah awal dari keberhasilan dari politik pengakuan tersebut.
Keberhasilan dan terwujudnya masyarakat yang harmonis dengan perbedaan-perbedaan yang ada bergantung pada pemahaman yang lebih jernih terhadap kemajemukan identitas manusia dan pada sikap menerima bahwa identitas-identitas tersebut saling bersinggungan satu sama lain. Penerimaan bahwa masing-masing dari identitas tersebut berbeda satu sama lain sehingga memunculkan kesadaran bahwa semua identitas sama – sama berbeda.
Konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia sering berakar pada keangkuhan pada sebuah identitas yang tunggal dan tanpa pilihan sehingga tidak ada penerimaan terhadap yang lain. Maka, solusi dari konflik tersebut terletak pada pengakuan akan kemajemukan kita dan pemahaman diri kita sebagai penghuni bersama dunia. Konflik inilah yang kemudian menyeruak sebagai akar dari permasalahan multikulturalisme di Indonesia.
Keragaman budaya dan etnis di Indonesia dimana terdiri dari banyak suku, budaya dan bahasa mampu membentuk national identity yang merekatkan rakyatnya ke dalam satu kepentingan bersama. Namun, dilain pihak, kepada para imigran dari luar, negara Indonesia juga harus bersikap akomodatif dengan mengaplikasikan model pluralisme budaya, meskipun misalnya persoalan identitas dan pengakuan masih belum sepenuhnya terakomodir. Permasalahan etnis yang sempat menyeruak hebat adalah permalsahana diskriminasi etnis China. Meskipun dalam kenyataannya, China sudah hadir dan menjadi bagian dari negara Indonesia selama berabad-abad lalu dan (seharusnya) sudah terintagrasi di Indonesia.
   Awal mula dimulainya politik multikultur di Indonesia adalah ketika Presiden Abdurrahman Wahid secara resmi mencabut Inpres No 14/1967 mengenai pembatasan ritual keagamaan dan kebudayaan China yang berdampak pada pembatasan hak politik, sosial dan hukum bagi mereka. Kemudian, dilanjutkan oleh dikeluarkannya Keppres No 19/2002 tentang hari libur nasional Imlek, oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. Melalui Keppres tersebut, maka etnis China mulai dapat merayakan ritual Imlek seperti etnis atau penganut kepercayaan lain merayakan ritual keagamaannya.
   Permasalahan muncul ketika pada era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, isu diskriminasi mulai mencuat lagi dalam kasus tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah. Menjadi ironi ketika pada satu sisi, pemerintah memberi kebebasan ritual keagamaan dan kebudayaan China namun dilain pihak gagal memberi perlindungan kebebasan mengekspresikan kepercayaan bagi penganut Ahmadiyah. Yang patut diperhatikan adalah aapakah saat ini Indonesia telah terjebak dalam fenomena pseudo multiculturalism yang malah menjauhkan Indonesia dari esensi multikulturalisme. Ditakutkan ketika ternyata selama ini ritual Imlek di klenteng – klenteng yang ditandai dengan ritual bagi-bagi angpao dari etnis China ke penduduk pribumi justru lebih merupakan legitimasi peneguhan posisi kelas dominan.
2.                       Nalar Komunikatif
Hampir dalam setiap interaksi di masyarakat plural dan multikultur, komunikasi memainkan peranan yang penting. Komunikasi hadir sebagai jalan tengah bagi perbedaan-perbedaan yang ada. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang dijalankan secara dua arah, bukan berjalan hanya satu arah saja. Dengan kata lain, komunikasi harus bersifat dialogis, bukan monologis. Hal ini menjadi kebutuhan penting karena dalam setiap penyampaian maksud dari kedua belah pihak, kebutuhan untuk saling menyampaikan pendapat agar masing-masing memiliki pemahaman yang sama atas sesuatu. Dari dasar persamaan pemahaman terhadap suatu hal tersebut, makan masing-masing pihak/partisipan lebih sedikit memiliki kemungkinan untuk berkonflik.
Permasalahan Ahmadiyah di Indonesia secara sederhana dapat juga ditelisik sebagai salah satu akibat dari kurangnya nalar komunikatif dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan menjaga stabilitas domestik terkait dengan konflik antar masyarakat mengenai Ahmadiyah. Sedangkan dari pihak Ahmadiyah sendiri, yang mengklaim bahwa sebenarnya Ahmadiyah tidak hanya ditemukan di Indonesia saja namun juga di banyak belahan dunia yang lain berkepentingan agar kebebasan ritual Ahmadiyah diakui oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia. Kemampuan mengkomunikasikan kehendak dari semua pihak termasuk juga Ahmadiyah sendiri dalam “mengambil hati” pembuat keputusan di Indonesia menjadi harga mati yang harus dibayar agar semua pihak dapat menerima satu lagi keragaman kepercayaan di Indonesia.

3.                       Keadilan dan Solidaritas
Kembali merujuk pada pembahasan bagian awal paper ini bahwa dalam setiap bentuk dan kondisi masyarakat, baik yang bersifat multietnis maupun monoetnis, keadilan harus dinomorsatukan karena keadilan dilihat dari berbagai sudut pandang merupakan salah satu tujuan hidup manusia. Prinsip-prinsip keadilan hakikinya harus bebas nilai terhadap keyakinan yang melekat dalam masing-masing individu. Dengan kata lain, dapat diartikan sebagai (a) entitas individu atau kelompok tidak dapat didiskriminasikan hanya karena kekhasan keyakinan dan cita-cita moral religiusitasnya; dan (b) prinsip-prinsip non diskriminasi tersebut diterima oleh masyarakat sebagai sebuah keadilan yang merata bagi semua pihak, sehingga tidak hanya berdasarkan pandangan komunitas tertentu tentang apa yang baik.
Solidaritas, dilain pihak dapat dijadikan indikator sejauhmana masing-masing individu dapat menerima perbedaan masing-masing dan menjadikan perbedaan tersebut sebagai salah satu bagian dari dirinya. Setia individu pada gilirannya harus berperilaku dengan adil satu sama lain. Pada akhirnya, melalui penerimaan dan keadilan yang diciptakan, solidaritas muncul seiring dengan meningkatkan kepekaan kita terhadap entitas lain. Kepekaan yang lebih tinggi berarti menjadi lebih sulit bagi kita untuk mendiskriminasi dan memarginalkan orang-orang yang berpikir berbeda dari kita.

2.c Problematika Budaya Bangsa
Situasi kebudayaan di Indonesia saat ini boleh jadi telah sampai pada titik dimana katastrofi kebudayaan mulai mengkristal. Kesimpulan tersebut mungkin bagi sebagian individu masih dianggap terlalu dini, akan tetapi saat ini banyak kasus di Indonesia telah mengarah kepada situasi tersebut. Perdebatan-perdebatan politis, dalam level elit hingga akar rumput masyarakat Indonesia menjadi pemandangan sehari-hari di media Indonesia. Begitu pula dengan skema perdebatan-perdebatan akademik yang saat ini dirasaka mengalami pendangkalan, pudarnya toleransi beragama yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia, selebritisasi jabatan publik, dan berbagai rentetan paradoks kemanusiaan. Semua permasalahan tersebut menurut penulis merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh setiap individu yang berkepentingan dalam membentuk Indonesia yang lebih damai.
Pembentukan Indonesia yang lebih damai tidak dapat dipisahkan dari pemaknaan kebudayaan yang benar di negara ini. Kebudayaan yang dalam pemaknaan apapun pasti mengarahkan setiap individu kepada pembentukan karakter suatu bangsa. Dengan demikian selalu ada segi politik, kolektif dan historis di dalam kebudayaan. Indonesia harus mulai untuk menyinergikan kebijakan-kebijakannya dengan strategi politik yang lebih mengayomi dan ramah terhadap realitas Indonesia yang multikultur. Kenyataannya saat ini, selepas rezim baru lengser dan digantikan oleh era reformasi yang oleh sebagian masyarakat diagung-agungnkan, Indonesia masih dihinggapi permasalahan yang menyangkut sosio-kultur selain sosio-ekonomi tentu saja. Pancasila yang merupakan prinsip bangsa yang telah lahir sejak negara Indonesia dibentuk justru lahir dan tumbuh dalam masyarakat plural dan semangat pluralisme justru kemudian menjadi salah satu “kebudayaan” yang dianggap kalah bersaing dengan budaya-budaya lainnya. Padahal Pancasila dilahirkan dalam kondisi pluralisme dari segi kenyataan alamiah bangsa Indonesia. Kondisi pluralisme sebagai realitas alaamiah dapat dimengerti sebagai kondisi yang sebenarnya ada di Indonesia dengan melihat keanekaragaman dan kebudayaan yang ada. Saat Pancasila lahir dan kemudian menjadi dasar negara, bangsa kita memiliki warna plural yang kuat.
Sebagai upaya untuk menyikapi problematika kebudayaan di negara ini yang semakin hari semakin memperlihatkan gejala destruktif, maka sebenarnya dibutuhkan pula politik kebudayaan dan pendidikan kewargaan yang berwawasan multikultur. Politik kebudayaan dibutuhkan demi menjawab kebutuhan mengenai arah dan cita-cita Indonesia sebagai suatu komunitas politik yang masih perlu dipertahankan.
Perkembangan globalisasi saat ini cenderung mengarahkan kebudayaan dunia yang homogen, yakni menyeragamkan budaya dalam kemasan yang sama. Multikulturalisme merupakan reaksi dari pengaruh homogenisasi tersebut. Bukan berarti multikulturalisme menolak adanya budaya baru yang dibawa oleh globalisasi namun lebih kepada upaya ttoleransi yang terbuka terhadap masuknya berbagai budaya asing. Di lain pihak, toleransi terhadap budaya asing tersebut pada gilirannya akan menumbuhkan kesadaran identitas hakiki masing-masing individu.

2.d Warisan Kebijakan Monokulturalisme Era Suharto dalam Pola Kebijakan Indonesia Kekinian
Berbalik pada contoh – contoh kebijakan era orde baru yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, merupakan kebijakan-kebijakan yang bersifat monokulturalisme. Hal ini terlihat dari pilihan presiden Soeharto dalam menggabungkan pandangan hierarkis militer dengan pola ketaatan garis komando atasan kepada bawahan  yang ketat di satu pihak, dan konsep stratifikasi sosial budaya Jawa dengan pola ketaatan paternalistik yang serba tertutup di pihak lain. Kebijakan itersebut kemudian terjawantahkan melalui kebijakan transmigrasi dari jawa ke pulau luar jawa. Dari satu sisi, kebijakan transmigrasi tersebut akan membentuk pola kebudayaan bahwa di seluruh Indonesia. Dengan kata lain, kebijakan transmigrasi bertujuan untuk men-jawa-kan Indonesia.
Bentuk kebijakan monokulturalisme tersebut kemudian dilanjutkan pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ketika Indonesia sedang menata ulang pemerintahannya setelah satu dekade reformasi. Bahkan kebijakan yang dipilih pemerintah kita tidak hanya bersifat monokultur, tetapi juga diskriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas. Contoh kasus yang kontroversial adalah dalam kasus kontroversi RUU (sekarang sudah menjadi UU) Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) No. 20 Tahun 2003 misalnya, yang terlibat di dalamnya sesungguhnya adalah konflik kepentingan kalangan mayoritas (Islam) dan minoritas (Protestan / Katholik). Wacana politik Indonesia masih mengenal istilah mayoritas dan minoritas. Terlebih dalam era orde baru, penyebutan dua istilah tersebut dpt dikatakan subversif, SARA, dengaan demikian, isu toleransi beragama yang tertulis dalam RUU ini tidak bisa dikritisi dalam perspektif mayoritas dan minoritas.
Dalam perspektif pemerintah, UU tersebut dikatakan  sebagai undang undang yang hirau akan masyarakat  multikultur. Akan tetapi, jika ditelisik lagi, UU tersebut tidak mampu menjamin hak hidup kepentingan minoritas. UU ini sangat menguntungkan kalangan mayoritas yakni Islam dengan dikeluarkaannya pasal 12 khususnya poin (1a), yang mengatur tentang pendidikan agama di sekolah yang memancing kontroversial dan potensial memicu konflik umat beragamadi-sendi kerukunan umat beragama. Pada saat bersamaan, negara sering tidak secara tegas mengatasi konflik horisontal yang melibatkan dua atau lebih kelompok masyarakat (etnis atau agama).
Kasus penyerangan jamaah Ahmadiyah ketika sedang melakukan pertemuan tahunan di Parung, Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 9 Juli 2005, membuktikan bahwa pemerintahan kurang mampu melindungi warga negaranya yang memilih keyakinan yang berbeda dari yang dianut kalangan mayoritas. Terlebih ketika kekerasan tersebut diikuti dengan penutupan masjid Ahmadiyah oleh aparat negara (kepolisian, kejaksaan, bupati) dan  didukung oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil seperti MUI dan kelompok-kelompok Islam yang lain.
Dalam perspektif multikulturalisme yang sangat menolak segala bentuk etnosentrisme, xenosentrisme, dan xenophobia, keanekaragaman budaya termasuk kepercayaan dan etnis menjadi harga mati. Yang adaadalah kewajiban untuk menghormati hak-hak atas keanekaan budaya tersebut. Dalam hal ini, seperti yang dikatakan oleh John Raws (1980: 540), bahwa sumber persatuan negeri multikultural adalah apa yang disebutnya "a share conception of justice": "Although a well-ordered society is divided and pluralistic... public agreement on questions of political and social justice supports of civic friendship and secures the bonds of association."
Diskriminasi Undang-Undang tersebut terjadi karena negara terlalu melegalisasi pelarangan  norma moral. UU/peraturan yang  diskriminatif akan mengakibatkan kemunculan segregasi sosial. Solusi dari permasalahan tersebut dalam tahap awal adalah penciptaan otonomi daerah dimana pemerintah pusat akan memiliki peluang dalam menemukan perannya melalui politik  kebudayaan, yaitu menegaskan arah dan cita-cita bangsa.

Sumber :

Alkaf, Mohammad.n.d.Aceh dan Tantangan Multikulturalisme dalam http://pkukmweb.ukm.my/~pkaukm/BUKU%201%20&%202/PDF_buku%201/B7_Mohd_Alkaf_Aceh_dan_Tantangan_multikulturalismedoc.pdf, diakses pada 16 November 2010.
Baylis, John Steve Smith.2001.The Globalization of World Politics : An Introduction to International Relations. UK : Oxford Up.
C, Van Doren,. 1938.Benjamin Franklin. NewYork: The Viking Press.
Clarke, Evan.n.d.Philosophical Methodology in Will Kymlicka’s Multicultural Citizenship.
Cahyono, Imam. Nasionalisme Ekonomi Versus Globalisasi  dalam http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0604/17/opini/2584066.htm
David Miller, Citizenship and National Identity. Cambridge: Polity Press, 2000
Fraser, Nancy. Recognition and Difference. Politics, Identity, and Multiculture, Scott Lash dan Mike Featherstone (eds), London, SAGE Publications, 2002
Franz Magniz-Suseno, 20 Tokoh Etika abad ke-20, Kanisius, Yogyakarta, 2000
Leo Suryadinata, The Ethnis Chinese Issue and National Integration in Indonesia, National University of Singapore, ISEAS, No. 2. Dalam  http://www.iseas.edu.sg/pub.html
Sen, Amartya. Identity and Violence, W.W. Norton, New York, 2006
Undang Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia 2006.dalam http://ns1.cic.ac.id/~ebook/ebook/adm/myebook/0008.pdf.___##0##___ •
Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural (terj E.H Eddin), LP3ES, Jakarta, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar