Selasa, 05 Juli 2011

‎"Love is always patient and kind. It is never jealous. Love is never boastful or conceited. It is never rude or selfish. It does not take offense and is not resentful". 


(a walk to remember)

Qampus Boardgame Cafe!

hari ini jadwalnya ngerjain skripsi,. masih,. seperti biasa,. as usual,. :(


cuman karena bosen tiap hari ngerjain di kamar kos, akhirnya aku dan teman - teman pengin ngerjain skripsi di tempat baru yang kita ngga pernah datengin sebelumnya,. emang biasanya kita suka nyekripsi di kafenya togamas, keiko, ato koffitoffee,. 

bingung milih tempat, akhirnya kita mutusin untuk pergi ke Qampus Cafe., kebetulan lokasinya deket sama tempat kos, plus, ada wifi and boardgame free yang bisa dimainin kalo bosen. 


selang kita ngerjain skripsi, begitu otak udah mulai cenat cenut,, pinjemlah kita ke mbaknya monopoli boutique edition sama wacky tacky!!




seru abis! lumayan refresh lah yaa.. ^^



ini deh penampakannya sodara2 :



 wacky staky!!


Senin, 04 Juli 2011

inget., waktu aku diem selama perjalananku pulang dari KFC bersamamu?


i was upset my dear,. 
oh dear i am so upset and down in the dumps.





semoga ini hanya mimpi,. pikirku waktu itu,.

rationalism and constructivism

Akhir abad 20, studi hubungan sangat dipengaruhi oleh konstruktivisme. Menurut pendekatan ini, perilaku manusia ditentukan oleh identitas mereka, dimana identitas tersebut merupakan hasil dari nilai-nilai masyarakat, sejarah, dan institusi. Konstruktivis berpendapat bahwa semua institusi, termasuk negara, adalah buatan manusia yang mencerminkan sebuah “intersubjective consensus” kepercayaan mengenai prakek politik, perilaku yang ditrima oleh masyarakat dan nilai. Dengan kata lain, aktor individu suatu negara atau unit lain secara kontinyu membangun realitas mengenai kebijakan, termasuk kebijakan mengenai perang dan perdamaian, konflik dan kerjasama dibuat.
Idealisme (kosmopolitan) dan realisme merupakan dua pendekatan yang terpisah mengenai cara memandang suatu isu. Berangkat dari pemisahan tersebut, sebenarnya terdapat beberapa inti pemikiran yang masih dapat disatukan dengan penjembatanan via media melalui sebuah bentuk pendekatan yang kemudian dikenal dengan rasionalisme. Penjembatanan kedua pemikiran tersebut diperlihatkan oleh rasionalisme dengan pemikiran mengenai keanarkian dunia yang tidak terelakkan dikaitkan dengan kemampuan negara untuk mempertahankan keamanan dan kedaulatannya. Disisi lain, rasionalisme juga mengungkapkan bahwa adanya unsur-unsur seperti aturan, institusi, hukum baru mampu membentuk sistem dunia baru yang dapat mengatur keanarkian sistem dunia.
Fearon dan Wendt mendefinisikan rasionalisme sebagai pengaplikasian secara formal informal dari teori rational choice. Rasionalisme dapat dikarakterkan sebagai suatu metode bagaimana menjelaskan suatu tindakan. Rasionalisme juga melihat gagalnya sistem dunia sekarang ini merupakan andil dari pengabaian yang sangat mendasar mengenai pengakomodasian nilai moralitas internasional[1] setiap negara yang merupakan alasan pencegahan suatu negara untuk melakukan aksi frontal jika kepentingan akan dunia yang stabil tidak tercapai.
Penjembatanan lainnya yang muncul adalah konsepsi konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan penjembatanan antara pemikiran rasionalisme dengan reflektivisme.[2] Menurut Fearon dan Wendt, konstruktivisme dapat dilihat sekaligus dalam terminologi empiris, ontologi atau analitikal. Bagaimanapun konstruktivisme bukan teori yang subtansi dari politik dunia-ketika dihubungkan dengan konten dan nature politik internasional. Sebuah perbedaan kunci mengenai dua pendekatan ini adalah mengenai asumsi ontologinya.
Rasionalisme seringkali dilihat dengan pengasumsian individu dimana seringkali terjadi pereduksian bagian-bagian yang berinteraksi, sedangkan konstruktivisme dilain pihak memfokuskan kepada identitas dan interest dan bagaimana mereka berubah; pemikiran;nilai-nilai; norma; dan manusia memiliki kemampuan merubah dunia dengan pengubahan pikiran mereka.[3] selain itu, lingkungan dimana agen atau negara melakukan tindakan adalah merupakan hal yang dipengaruhi oleh niali sosial dan material. Struktur  internasional dianggap sebagai struktur yang given. Prinsip fundamental dari konstruktivisme adalah “people act towards others”(objects/actors) on the basis of the meanings these “others” have for them“.[4] Pemikiran kolektif membentuk struktur yang mengorganisisr perilaku mereka.
Kritik mengenai pemikiran – pemikiran utama hubungan internasional merupakan hal yang sangat wajar dalam perkembangan studi ini. Kekurangan-kekurangan setiap pemikiran tersebut pasti mengundang banyak respon dari berbagai pihak. Dari sinilah perdebatan mengenai pemikiran tersebut memberikan andil dalam referensi pemikiran mengenai konsepsi struktur internasional yang stabil.

Referensi :
Fearon,James dan Alexander Wendt.n.d.Rationalisme vs Constructivism: A Sceptical View
Linklater, Andrew.Rationalism, Rationalism, Men, and Citizens in International Relations, Second Edition. 2002. Macmillan  Press. pp 93




[1] Andrew Linklater.Rationalism, Rationalism, Men, and Citizens in International Relations, Second Edition. 2002. Macmillan  Press. 93
[2] Alexander Wendt. (1992) “Anarchy is what state make of it : Social Theory of Power Politics”.p.398
[3] Karl mingst, 50

Realism and Neo Realism


Realisme adalah teori dominan yang dijadikan sebagai “set of believe “ bagi sebagian besar kaum akademisi HI. Realisme mendapatkan tempat yang tinggi dalam pembahasan Hubungan Internasional karena memberikan penjelasan yang lengkap tentang negara yang menjadi salah satu isu sentral studi ini. Sedangkan Neo Realisme merupakan bentuk baru dari realisme. Dalam perspektif historisnya, realisme muncul akibat ketidakpuasan paham Idealisme dengan interdependency-nya yang ternyata tidak mengahsilkan perdamaian di tahun 1930an. LBB juga tidak dapat membendung rezim otoriter Italia dan Jerman. Ketika perkembangan dalam hubungan internasional tidak lagi relevan dalam bahasan idealisme, pemikir HI mulai berkaca kembali kepada bahasan realisme klasik seperti Thucydides, Machiavelli dan Hobbes. Menurut paham realisme klasik, system internasional yang dicirikan idealisme adalah hanya merupakan utopia belaka.
Berikut adalah beberapa asumsi dasar Realisme (Jackson &Sorensen):
*        pemahaman sifat manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya yang dicirikan haus akan kekuasaan dan mementingkan diri sendiri.
*        Aktor utama hubungan internasional adalah negara. Individu, organisasi internsional dan LSM dianggap tidak penting.
*        Kesepakatan kerjasama bersifat situasional dan sementara dan hanya berupa aturan bijaksana yang bisa dikesampingkan bila bertentangan dengan kepentingan negara. Tidak ada konsep reciprocity.
*        Adanya etika politik yang memperbolehkan tindakan yang tidak diijinkan oleh moralitas pribadi. 
*        setiap negara adalah seimbang, tidak ada kekuatan yang superior dan berlebih yang mengatur system internasional. Realisme tidak mengakui adanya international government.
*        Keadaan yang didasarkan pada egoisitas membuat system internasional menjadi anarki, dan cenderung konfliktual.
*         Pencapaian terpenting dari sebuah negara adalah great powers dan kekuasaan.
*        Balance of power sebagai implikasi dari egoisitas dan ketakutan namun dipandang baik ketika dihadapkan pada kemampuannya mencegah hegemoni internasional.
*        Pandangan yang tertinggi bagi kelangsungan hidup negara, adalah keamanan nasional dan stabilitas serta ketertiban dunia.

REALISME KLASIK.
Beberapa penstudi realisme klasik adalah Hobbes (1946) Thucydides (1972), dan Machiavelli (1984). Secara umum pemikiran realist klasik menyetujui konsep anarkis dan konfliktual yang permanen dalam kondisi manusia. Mereka juga sependapat bahwa terdapat kumpulan kebijaksanaan untuk menghadapi masalah keamanan.
            Menurut Thomas Hobbes, kondisi alamiah manusia dapat diatasi dengan penciptaan dan pemeliharaan negara berdaulat. Kedaulatan itu digunakan untuk membalikkan ketakutan satu sama lain. Pemikiran ini dijelaskan oleh Oakeshott (1975) sebagai bentuk kerjasama secara politik yang didasarkan pada ketakutan mereka akan diserang oleh yang lain. Dari sini, akan tercipta perdamaian dan ketertiban yang tertanam kuat. Namun penciptaan keamanan domestik dengan memberikan ketidakamanan internasional dianggap memunculkan security dillema.
            Thucydides menekankan pada prinsip keadilan internasional yang sangat berbeda dari moralitas pribadi. Keadilan menurutnya bukanlah penyamarataan kepada semua pihak. Namun diberikan pada tempat yang tepat sesuai kemampuan yang dimiliki oleh negara tersebut.
            Pandangan Machiavelli menganggap kemerdekaan dan usaha untuk mempertahankannya adalah nilai tertinggi dalam politik.  Pemikirannya paling jelas terlihat dalam statementnya yang mengatakan : ”Sadarlah terhadap yang terjadi. Jangan menunggu... bertindak sebelum mereka melakukannya”. Dalam mempertahankan kebebasannya, setiap orang hendaknya harus bisa bertahan, mengantisipasi dan bertindak menghadapinya.

REALISME NEO-KLASIK (MORGENTHAU)
            ”Politik adalah perjuangan untuk kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya.”(Morgenthau. 1965).
            Animus dominandi. Bahwa manusia terlahir dengan membawa sifat haus akan kekuasaan dijadikan sebagai pemikiran dasar dari konsep keamanan. Kehausan akan kekuasaan akan menyeret hubungan internasional menjadi politik kekuasaan. Ketika sebuah negara mempertahankan kedaulatannya, maka negara tersebut harus mengerahkan kekuatan untuk mencapai tujuannya itu.
            Morgenthau dalam pandangannya mengcounter pemikiran Thucydides yang menyebutkan etika politik yang membolehkan tindakan yang tidak dibenarkan oleh moralitas pribadi. Menurutnya, hal ini membuat sistem ketatanegaraan menjadi kacau dan tidak bertanggung jawab. Morgenthau lalu memberikan pandangan baru tentang etika situasional yang didasari prinsip kebijaksanaan namun tidak serta merta menghilangkan tindakan jahat ”kecil” untuk mengatasi kejahatan yang lebih besar.
Dalam kondisi anarkis dan saling curiga, negara-negara akan terus berusaha mempertahankan status quo atau bahkan memperkuat kekuasaan dengan praktek imperialisme akan berimplikasi pada balance of power. Pada kondisi Balance of power masing-masing pihak yang akan melakukan peningkatan kekuasaan paling tidak mengundang peningkatan kekuasaan dari pihak lain. ketika tidak ada kata menyerah dari pihak yang lemah kepada yang kuat, maka perang adalah jawabannya. Keadaan balance of power dapat dikatakan sebagai bagian dari usaha pembentukan stabilitas dan menjamin suatu negara berdaulat agar tidak terdominasi negara lain.
           
 NEOREALISME WALTZ
            Dalam bukunya ”Theory of International Politics”, Kenneth Waltz (1979) mencoba menerapkan pendekatan yang lebih ilmiah pada realisme. Elemen-elemen dasar seperti anarkisme dunia internasional,  konfliktualitas, pandangan skeptis akan kemajuan politik internsional seperti di wilayah domestik tetap dipertahankan oleh Waltz. 
              Perbedaan paling mencolok ada pada pemahaman tentang sifat manusia. Waltz tidak beranggapan bahwa sifat alamiah manusia selalu diliputi kecemasan. Ia lebih memfokuskan pada struktur internasional sebagai pengatur dunia internasional. Ia menolak pendapat Morgenthau tentang penyebab perang. Dalam The Theory of International Politics, asal mula perang bukanlah karena sifat dasar manusia yang egois, melainkan karena pengaruh system. Perbedaan lain terletak pada pengaturan sistem. Realisme klasik memandang bahwa negara harus memelihara sistem sebaik-baiknya dan bila gagal mereka akan depersalahkan. Neorealisme menganggap pemeliharaan sistem akan berlaku dengan sendirinya. Bukan tanggung jawab dari negara-negara. Hal ini menunjukkan realisme klasik lebih mengedepankan nilai-nilai normatif daripada Neorealisme yang ilmiah.
Bagi Waltz, karakteristik system internasional adalah :
         Anarkis.
         sistem bipolar lebih baik dan stabil daripada multipolar. “hanya dengan dua kekuatan besar, keduanya diharapkan bertindak untuk memelihara sistem (Waltz 1979:204)”. 
         Terstruktur dalam pola-pola interaksi antar Negara yang dibimbing negar besar. Perubahan internasional terjadi ketika negara besar mengalami perubahan. Alat-alat yang khas dalam mengahadapi perubahan itu adalah perang.
         Tiap Negara memiliki fungsi yang sama sebagai penjamin keamanan nasionalnya. Perbedaannya hanya terletak pada kapabilitas mereka menjalankan tuga serupa (pajak, kebijakan luar negeri, dll).
         Suatu Negara memilih berperang akibat desakan struktur internasional.

Realisme menjadi bahan perdebatan yang tidak ada habisnya selama berabad-abad. Keeksistensian negara sebagai aktor sentral dan realisme memberikan penjelasan yang masuk akal atas konflik yang selalu ada di dunia internasional. Namun pembahasan tentang hubungan internasional masih terlalu sempit dan tidak cocok lagi dengan kondisi-kondisi low politics akhir-akhir ini. Ia lebih fokus kepada high politics yang malah menunjukkan trend dikurangi.

Sources :
Burchill, Scott. Theories of International Relation
Sorensen, George, Robert Jackson. Pengantar Hubungan Internsaional, Pustaka Pelajar, Jogjakarta. 2005.
Morgenthau, Hans, J. Politik Antar Bangsa. Yayasan  Obor Indonesia.
Structural Realism by John Merseimers

SUDAN

Sudan merupakan salah satu negara di Afrika yang kaya akan sumber daya alam yang merdeka dari jajahan negara Inggris sejak tanggal 1 januari 1956 dengan Perdana Menteri pertamanya Ismail Azhari. Dari sejak berdirinya negara ini, terjadi banyak  konflik internal yang mempengaruhi kestabilan politik di Suda khususnya dan kawasan Afrika secara umum. Sebenarnya konflik yang terjadi di Sudan merupakan konflik yang diakibatkan oleh pembagian wilayah yang dilakukan pihak kolonial Inggris. Warga Sudan bagian selatan dilarang melintas dan mendiami wilayah sebelah utara garis lintang 8 derajat. Sementara itu, warga Sudan bagian utara juga tidak diperbolehkan melakukan hal serupa.
Aturan pelarangan ini sebenarnya dibuat oleh Inggris untuk menyebarnya penyakit malaria dari daerah selatan. Penyebaran tersebut terkait dengan usaha penghentian pengaruh Islam dari utara sehingga penyebaran agama Kristen menjadi lebih lancar. Bentuk isolasi ini kemudian menumbuhkan benih konflik warga utara-selatan.  Selain itu, Inggris juga  membangun kesadaran identitas warga Sudan wilayah selatan, bahwa mereka merupakan penduduk asli Afrika, bukan wara wilayah selatan dan dilain pihak, Inggris membangun pola pemerintahan tradisional di bawah pimpinan syaikh di Utara dan pemimpin suku di Selatan yang memberikan andil terhadap lemahnya sistem pemerintahan Sudan dikemudian hari.
Menurut beberapa literature yang saya baca, terdapat dua akar konflik utama yang melanda Sudan, yakni: Pertama, wilayah Selatan Sudan yang mayoritas beragama Kristen mengancam akan memerdekakan diri karena rezim Nimeiri menerapkan syariat Islam pada bulan september 1983. Terlebih lagi sebelumnya di bulan juni, Nimeiri secara unilateral membagi wilayah selatan menjadi tiga provinsi tanpa melibatkan warga di wilayah tersebut. Kedua, ketidakseriusan pusat (Khourtum) dalam mensejahterakan warga Darfur memicu terjadinya konflik di provinsi tersebut. Konflik kedua ini berbeda dengan konflik antara kelompok Islam di Utara dan minoritas Kristen di Selatan, dalam konflik di Darfur semuanya adalah Muslim berkulit hitam.
Penyebab utama dari konflik ini adalah karena murni akibat kemiskinan yang dialami oleh warga Darfur, padahal Darfur merupakan wilayah yang sangat subur untuk tanah pertanian dan kaya minyak. Menghadapi pemberontakan ini, pemerintahan Khartoum merespon dengan membentuk kekuatan militer di Darfur untuk menyerang kelompok di daerah tersebut. Dalam kurun waktu beberapa tahun, menurut PBB lebih dari 30.000 orang telah tewas, lebih dari satu juta orang mengungsi ke perbatasan Sudan-Chad. Konflik di Darfur ini menurut PBB dikategorikan sebagai genocide atau ethnic cleansing, yaitu pembunuhan besar-besaran etnis suatu bangsa secara sengaja oleh pihak tertentu.
Berlangsungnya konflik Darfur yang telah lama berlangsung dan belum menemukan penyelesaian telah berimbas pada kestabilan regional Afrika, utamanya negara-negara di sekitar Sudan, seperti Chad, Kenya, Ethiopia, Uganda dan Eritrea.  Dampak yang tidak terhindarkan dari kasus Darfur bagi kelima negara tersebut adalah masalah pengungsian massal kedalam wilayah negara-negara tersebut yang mengakibatkan munculnya kasus baru, seperti kelaparan dan kriminalitas. Mengingat bahwa adanya kemungkinan terjadinya dampak yang lebih serius dari kasus Darfur, maka dunia internasional kemudian memberikan perhatian khusus kepada Sudan.
Perhatian tersebut tercermin dari pembentukan regionalisme yang bertujuan untuk penyelesaian konflik etnis di kawasan Afrika. Kerjasama kemudian dilakukan dengan negara Eritrea, Ethiopia, Chad dan Sudan untuk mengatasi konflik ini. Sementara itu, upaya domestik yang dilakukan oleh pemerintahan Sudan adalah dengan mengadakan perundingan dengan para pemberontak, tetapi seringkai perundingan tersebut berakhir nihil. Salah satu perundingan yang berhasil dijalankan adalah perjanjian perdamaian antara pemerintah dan kelompok pemberontak selatan di tahun 2005 dalam Nairobi Comprehensive Peace Agreement. Menurut kesepakatan ini, hal – hal yang ditekankan adalah mengenai otonomi daerah selatan dan penunjukan John Garang, pemimpin SPLA, sebagai co-vice president di Sudan sekaligus sebagai presiden daerah otonomi khusus Sudan Selatan dibawah pemerintah pusat Khartoum.
Selain itu, bantuan penyelesaian konflik Darfur juga datang dari organisasi regional Uni Afrika. Uni Afrika meskipun dianggap merupakan bentuk regionalisme yang kurang berpengaruh terhadap dinamika yang terjadi di Afrika ternyata memiliki peranan yang cukup signifikan dalam penyelesaian konflik Darfur seperti upaya perundingan untuk gencatan senjata, pengiriman tentara dan polisi Uni Afrika untuk stabilitas dan mengatur masalah kependudukan di wilayah konflik.
Tanggapan kasus konflik Darfur juga datang dari pihak luar regional Afrika, seperti yang dilakukan oleh pihak DK PBB dengan mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1706 tahun 2006. Dalam resolusi tersebut dinyatakan bahwa PBB akan mengirimkan sekitar 26.000 tentara penjaga perdamaian PBB di Darfur atau UNAMID (United Nations African Union Mission in Darfur). Pihak lain yang ikut terlibat adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa. Khususnya Amerika Serikat, peranannya terlihat dalam mediasi-mediasi dan perundingan-perundingan yang diselenggarakan oleh kedua belah pihak. Seperti dalam kebijakan WOT (War On Terrorism) yang menyatakan bahwa gerakan separatis Sudan merupakan salah satu bentuk jaringan terorisme yang sama dengan pelaku peristiwa 9/11. Melalui kebijakan tersebut, Amerika Serikat juga ingin menegakkan HAM dan demokratisasi pemerintahan Sudan.
Perkembangan yang paling ekstrim dari upaya perdamaian di Sudan ini adalah adanya rencana penangkapan dan penyeretan Presiden Sudan, Umar Al-Basyhir ke pengadilan internasional oleh International Criminal Court (ICC) dengan tuduhan pelanggaran HAM dan genocide di Darfur pada 4 Maret 2009. Hal ini menurut saya malah akan semakin menjauhkan kondisi Sudan dari suksesi perdamaian. Intensi pihak luar yang terlihat secara jelas dalam rencana penangkapan ini akan memunculkan sejumlah polemik, baik bagi internal Sudan maupun regional Afrika. Situasi internal Sudan akan semakin bergejolak atas rencana ICC tersebut. Sedangkan bagi kawasan sendiri, masalah Sudan merupakan isu yang sangat fundamental ditengah upaya regionalisme progresif di Afrika. Otoritas Uni Afrika, dibawah Moamer Khadafi menolak secara tegas menolak rencana penyeretan Al-Basyir, sebagai bentuk keberpihakan dan konsolidasi regional dalam kawasan Afrika sendiri.
Konflik yang terjadi di Sudan merupakan pembuktian bahwa kestabilan dan keamanan regional Afrika masih terganggu dan hal ini berdampak pada terhambatnya proses kerjasama Uni Afrika. Sementara itu, keterlibatan pihak luar menurut saya telah jauh ikut campur dalam kasus internal Sudan. Seharusnya keterlibatan pihak luar hanya sampai pada tahap membantu penyelesaian konflik seperti mediasi dan bantuan-bantuan lainnya. Apabila keterlibatan tersebut semakin masuk menginternalisasi, ditakutkan akan terjadi peralihan kekuasaan kepada pihak asing, dalam hal ini Amerika Serikat dan aktor-aktor lainnya. Sementara itu, upaya ditingkat regional oleh Uni Afrika akan menjadi hal yang tidak terlalu signifikan. Hal ini dikarenakan adanya aturan non-intervention policy bagi negara-negara didalamnya. Menurut saya upaya paling efektif adalah melalui rekonsiliasi pihak grass-root sebagai pelaku utama konflik di Sudan ini.
Daftar pustaka :
      Dr. J. Stephen Morrison, American's Sudan Policy: A New Direction?, Center for Strategic and International Studies, Washington D.C, 2001
      Dr. J. Stephen Morrison, Implementing U.S Policy in Sudan, Center for Strategic and International Studies, Washington D.C, 2002
      Dagne,Ted.2005.Sudan: Humanitarian Crisis, Peace Talks,Terrorism, and U.S. Policy.Congress-ional Research Service
      Deng,Francis M.  dan J. Stephen Morrison.2001.Report of the CSIS Task Force on U.S.-Sudan Policy.CSIS:Washington DC